Kepingan Dua

49 4 0
                                    

Sepagi ini, aku sudah duduk di teras belakang rumah, menanti kedatangan matahari pagi yang beberapa hari ini sudah menemani. Dengan memakai masker medis tiga lapis, sweater kebesaran milik Mbak Biya yang dipadukan dengan celana kulot bata dan kerudung instan berwarna hitam, serta sandal jepit hijau tujuh ribuan yang melindungi alas kaki, aku sudah terbilang aman untuk berada di luar rumah.

Hari kesembilan. Tidak banyak yang berubah, indera penciumanku belum pulih, aku sempat merasakan sesak napas ketika melakukan kegiatan yang sedikit berat, tak jarang pula demam menghampiri di malam hari. Untung saja, Dokter Bima membawakan beberapa obat dan bahan makanan untuk bisa bertahan di gubuk kecil ini. Ah iya, lelaki itu sepertinya sedang sibuk. Meskipun demikian, ia tetap mengabariku melalui WhatsApp, beberapa kali memastikan kondisiku agar baik-baik saja.

Tring!

Dokter Bima
Saya ke sana agak sorean dikit, Al. Mau nitip apa?

Kan! Baru saja sosoknya hinggap di pikiranku, tahu-tahu sudah mengirim pesan lagi, bahkan pesan yang sebelumnya masih kuabaikan. Sebenarnya, aku tidak berniat untuk mengabaikan pesannya. Hanya saja, keinginan bermain media sosial tanpa membalas pesan yang masuk, sudah mendarah daging di jiwaku. Aku pun tidak peduli jika orang-orang menganggap aku lebih slow response  dari sebelum-sebelumnya atau bagaimana.

Satu hal yang baru kuketahui, “Orang slow response adalah orang fast response yang tersakiti”. Begitu ucapan para leluhur yang pernah fast response namun tidak dihargai. Aku mengakuinya, benar. Sebelum patah hati, aku memang selalu membalas pesan masuk dari siapapun dengan cepat.

Jempolku menggeser tombol keluar pada aplikasi bersimbol telpon hijau itu, beralih menyentuh pesawat kertas atau Telegram yang sudah tidak terjamah sejak Pasal mengirim pesan perpisahan dengan penuh drama. Tanpa disangka, jantungku masih berdegup kencang ketika melihat foto profilnya yang teronggok di barisan ketiga dari rentetan grup fakultas dan grup "Sobat Joim", grup sahabatku sejak SMA.

Ddrrtt drrttt tringg!

Panggilan masuk. Foto profil seorang laki-laki dengan kemeja hitam dan celana cargo terpampang di layarku. Panas matahari yang terasa hangat berbanding terbalik dengan kepalaku yang sepertinya sudah berasap. Aku berpikir sejenak, mempertimbangan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika aku menerima panggilan itu. Hmm, aku ini pengecut apa bagaimana? Suka sekali overthinking  tidak jelas, membunuh niat baik dengan kecamuk di dada. Eh, bukannya aku sudah mengakui kalau aku memang pengecut?

"Assalamualaikum, halo."

Ya. Aku menerima panggilan tersebut sebelum suara laki-laki di seberang sana terdengar panik.

***

"Apa susahnya sih Al, bales chat dari Bima tepat waktu?!"

Aku menghela napas berat. Mbak Biya masih saja memarahiku dengan tudingan sarkasnya. Terhitung sejak sepuluh menit yang lalu perempuan hamil ini mengomel tanpa henti.

"Cuma Bima yang jadi jembatan komunikasi antara kamu sama mbak. Kalau kamu nggak ada balasan, yang ada kami semua di sini cemas. Mbak nggak mau lagi ya, ada laporan dari Bima kalau kamu slow response! Jawab dong, Al. Jangan diam aja huh!"

Aku memutar bola mata malas, "iya mbak Biyaaa, nggak lagi deh slow response ke Dokter Bima. Ini bumil sensi amat ya, ngomelnya udah?" ejekku.

"Ya gimana nggak sensi ..."

"Iya-iya maaf mbak Biya, Al nggak akan ngulangi lagi, janji," sahutku cepat sebelum bibirnya kembali mengeluarkan sumpah serapah yang membuat waktuku terbuang sia-sia.

"Hufft, oke. Yang nurut sama Bima."

Heran.

"Mbak Biya kok percaya banget sih sama Dokter Bima, kalau ada apa-apa sama aku gimana?" Tanyaku sembari meneguk segelas air putih hangat. Jika dipikir-pikir, aku tidak pernah curiga ke Dokter Bima. Hanya saja, sikap Mbak Biya yang selalu mempercayakan laki-laki itu untuk menjagaku seolah memancing rasa penasaran tak berkesudahan.

Bukan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang