Kejadian kemarin lusa benar-benar membuatku tidak bisa tidur. Masih ada yang mengganjal hati dan pikiranku. Aku tidak sekuat yang kalian pikirkan. Ketika membaca dan mengetik pesan balasan untuk Pasal, memang sama sekali tidak ada keinginan dalam diriku untuk menangis. Sesuai dengan yang kutulis di pesan itu, air mataku sudah banyak terbuang sebelum membaca pesan darinya.
Namun kini, ingatan tentang kalimat demi kalimat yang terekam di otakku malah bersliweran bak laron di atas air murni, membuatku berulang kali menghela napas, menghalau rasa sesak dengan ujaran ‘mengapa’ di baliknya. Sampai pada saat mataku bersibobrok dengan tumpukan baju kotor di sudut kamar, mengingatkanku bahwa sudah tiga hari ini aku belum mencuci baju.
Baiklah. Daripada meratapi Pasal Aradhana Badhrika yang tidak guna, lebih baik aku mencuci saja. Aku beranjak dari posisiku yang tadi merebah di atas kasur, merapikan dan mencepol rambut asal, lalu bergerak untuk mengangkat keranjang berisi pakaian kotor itu. Sesaat aku teringat dengan deterjen pemberian Dokter Bima. Tidak tanggung-tanggung, lelaki itu membelikanku sekitar lima bungkus deterjen, seperti mau jualan saja.
Membicarakan Dokter Bima, mengingatkanku pada sesuatu. Lelaki itu tidak terlihat sejak kemarin. Terakhir kali kami bertemu pada saat Bunda melakukan panggilaan video bersamaku. Nomornya pun sudah kuhubungi, tapi selalu yang terdengar adalah suara operator, menandakan bahwa tidak aktif.
Aku mendesah kasar, apa Dokter Bima melakukan hal sama seperti Pasal? Tiba-tiba menghilang tanpa kabar, datang-datang membawa berita buruk di antara kami. Semoga saja tidak. Tidak seharusnya pula aku membandingkan mereka berdua. Dokter Bima jelas berbeda dengan Pasal. Bahkan dari cara memperlakukan perempuan saja sudah berbeda.
Pakaian kotor sudah terendam sepenuhnya dengan air sabun. Tiba-tiba saja gerakan tanganku yang hendak mengucek noda-noda kotor di baju itu tertunda, dering ponsel pelakunya. Aku mengernyit ketika menemukan nomor tak dikenal di layar ponsel. Meski ragu, aku tetap menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Al. Ini saya Bima.”
“Waalaikumussalam. Dokter Bima ganti nomor ya?”
“Iya, sebenarnya hari ini jadwal kamu tes swab. Saya juga sudah janji untuk datang ke rumahmu membawa alat swab. Tapi ada beberapa kendala yang menghalangi saya untuk ke sana. Jadi, nanti teman saya – Dokter Sina yang akan menggantikan saya. Nggak masalah kan, Al?”
Aku mengangguk samar hingga menyadari bahwa Dokter Bima tidak bisa melihat anggukanku. Kendala? Sempat terbesit keinginanku untuk menanyakan hal itu. Tapi sepertinya Dokter Bima sedang terburu-buru.
“Iya, Dok. Sama sekali nggak masalah.”
“Ya sudah kalau begitu saya matikan dulu teleponnya. Tolong kabari saya melalui nomor ini ya, Assalamualaikum.”
“Baik, Dok. Waalaikumussalam.”
Aku menaruh benda pipih itu di atas tumpukan bak yang kering, kemudian kembali berjongkok untuk melanjutkan aktivitasku yang tertunda. Sembari mengucek baju, aku masih memikirkan Dokter Bima yang tidak bisa datang ke sini. Masalahnya, baru kali ini laki-laki itu mempercayakan temannya untuk merawatku. Apa Dokter Bima sesibuk itu? Sampai-sampai harus digantikan oleh temannya? Entah mengapa aku merasa kecewa. Apalagi ini tes swab yang menjadi penentuku untuk lanjut karantina atau tidak.
Beralih dari overthinking terhadap Dokter Bima, tiga puluh menit kemudian aku selesai mencuci baju. Bertepatan dengan itu, dering telepon lagi-lagi berhasil menunda kegiatanku yang hendak menjemur baju. Ajaibnya, tadi sewaktu aku mengangkat bak berisi cucian, napasku sudah tidak terasa sesak lagi. Bahkan dari beberapa hari yang lalu, indera penciumanku berangsur normal, aku dapat mencium bau-bau an lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Mantan
ChickLitCovid Series! Cobaan datang bertubi-tubi di kehidupan Alinea Bratandari. Bermula ketika ia divonis terkena virus covid yang mengharuskannya isolasi mandiri di desa, Bunda yang harus dirawat di rumah sakit karena memiliki riwayat penyakit bawaan, di...