Kepingan Enam

38 6 0
                                    

Sesuai dengan ucapan Dokter Bima kemarin, hari ini kami akan ke Surabaya untuk bertemu Bunda, Mbak Biya, dan mengunjungi keluarga Dokter Bima. Dua tas ransel dan tiga kardus berisi perlengkapanku selama di desa ini sudah masuk ke bagasi.

Usai meletakkan barang-barang itu, aku kembali menatap rumah minimalis yang kuhuni beberapa hari ini. Karantina mandiri di desa merupakan sebuah pengalaman yang tidak pernah kulupakan. Fakta bahwa aku adalah salah satu orang yang terinfeksi Covid-19, menyadarkanku bahwa mahkluk tak kasat mata itu memang ada. Tidak hanya sebagai pengalaman, kejadian ini juga merupakan teguran dari Tuhan agar aku lebih bersyukur atas nikmat sehat yang telah diberikan-Nya.

“Sudah semua, Al?”

Aku menoleh laki-laki berkemeja hitam yang berdiri di sampingku. “Sudah.”

“Berangkat, yuk!”

Kuanggukkan kepala sambil berjalan memasuki mobil, duduk di samping kemudi, sedangkan Dokter Bima berada di balik kemudi. Sebelumnya aku sudah memberi saran kepada laki-laki ini agar menyewa jasa sopir, mengingat luka di siku dan dagunya belum sembuh. Aku hanya khawatir sewaktu-waktu luka itu terasa sakit. Belum lagi jarak desa ini dengan Surabaya yang memakan waktu sekitar tiga jam, membuatku was-was jika nanti Dokter Bima kelelahan.

Namun laki-laki itu berpegang teguh pada pendiriannya untuk menyetir sendiri. Ia meyakinkanku kalau kondisi tubuhnya sudah sangat baik dan mampu menyetir mobil ke Surabaya sendiri. Tidak ada pilihan lain selain menyetujuinya. Aku hanya berdoa agar perjalanan kami lancar dan selamat sampai tujuan. Ya, hanya itu.

Beberapa jam hanyut oleh keheningan, sampai pada akhirnya Dokter Bima bersuara, “Nanti kita mampir beli buah dulu, ya. Kata Biya, Bunda suka banget sama pisang cavendish dan pepaya.”

Aku menatap Dokter Bima dari samping, “Dokter Bima kayanya sudah paham seluk beluk keluarga kami ya?” ujarku yang lebih pantas disebut pernyataan daripada pertanyaan.

“Ohh iya, kan Dokter Bima mantannya Mbak Biya hehe. Ya wajar dong kalau tahu banyak,” lanjutku sedikit menyindir.

Tidak tahu penyebabnya, tiba-tiba saja hatiku sedikit emosional jika mendengar nama Mbak Biya dipanggil oleh Dokter Bima. Pikirku, mengapa tidak tahu dari aku saja begitu. Mengapa harus tahu dari Mbak Biya. Setidaknya kalau ia tahu dari Mbak Biya, lebih baik tidak usah pakai embel-embel tahu dari Mbak Biya segala. Menjengkelkan!

“Bukan mantan, Al. Orang Cuma HTS-an,” sanggahnya. “dari kemarin kamu kayak sensi banget kalau bahas Biya? Apa ada masalah, Al? Kalian nggak lagi berantem, kan?” lanjut Dokter Bima dengan suara lembut yang malah membuatku menghela napas.

“Nggak ada.”

“Benar?” Sesekali Dokter Bima mengalihkan pandangannya kepadaku.

“Hu um,” jawabku setengah hati.

“Oh, ya sudah kalau begitu.”

Aku memutar bola mata malas. Sungguh, laki-laki ini tidak peka. Jelas-jelas aku cemburu!

“Terima kasih untuk laptopnya. Nanti aku mau pinjam lagi, dokumen-dokumennya mau aku pindahin ke laptopku.” Aku berucap ketus tanpa menatap Dokter Bima.

“Iya, sama-sama. Nggak usah dikembalikan juga nggak papa sebenarnya, Al. Toh, udah nggak dipakai.”

“Nggak dipakai tapi masih disimpan? Jangan bilang gara-gara ada fotonya Mbak Biya,” gerutuku yang lebih mirip dengan gumaman.

Entah mendengar atau tidak, tiba-tiba saja Dokter Bima menepikan mobilnya. Aku menatap laki-laki itu dengan raut kesal dan bertanya-tanya.

“Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Saya mau beli buah dulu. Kamu mau ikut?”

Bukan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang