Sepuluh hari hidup di pedesaan membuat pikiranku kembali jernih, sejernih air sungai yang melintas di hadapanku. Sepagi ini, belum ada seorang pun yang pergi ke sawah. Suara mengaji seseorang yang berasal dari masjid masih menggema di seluruh sudut kecamatan, bersahut-sahutan, menimbulkan rasa tenang tersendiri.
Aku menghirup udara pagi dalam-dalam. Semalam habis hujan, udaranya begitu segar. Sisa-sisa rintik hujan menghinggapi dedaunan yang menaungiku saat ini. Bangkit dari duduk, aku menepuk-nepuk celana trining SMA di bagian bokong, membersihkan anak rumput yang bergumul di sana setelah kududuki tadi.
Tringg!
Yana
Lin, kamu masih di desa? Kok nggak bilang-bilang kita, sih.Satu notifikasi masuk, diikuti dengan notifikasi lain. Grup “Sobat Joim” mendadak ramai sepagi ini.
Ambar
Nah iya, kamu kalau butuh apa-apa langsung bilang ke kita aja Lin. Insyaallah kita siap membantu.
Sena
Jangan pernah merasa sendirian ya, Alin ku sayangg. Kita berdiri di sini bareng-bareng sama kamu.Liza
Nah, bener tuh kata temen-temen.
Btw, Kemarin aku habis kirim vitamin herbal buat kamu. Siapa tahu manjur, paketnya belum datang ya?Layaknya matahari yang malu-malu di ufuk sana, seberkas senyum terbit dari wajahku. Dengan cepat aku me-reply pesan mereka di grup.
Alinea
Iyaaa, masih di desa guys. Empat hari lagi insyaallah balik. Terima kasih banyak ya, kalian selalu ada buat aku.To: Liza
Belum datang kayanya, Liz. Tapi nanti coba aku cek lagi.Jemariku lincah mengetikkan deretan huruf itu. Setelah selesai, jempolku bergerak menyentuh tombol rumah agar kembali ke halaman utama. “Sobat Joim” singkatan dari sahabat jomblo imut. Aku sedikit tertawa mengingat-ingat nama geng kami berlima yang terinspirasi dari salah satu selebgram dan hafidz Quran tampan idola kaum hawa. Alasan kedua kami memilih nama itu adalah karena di antara kami berlima, semuanya sama sekali tidak pernah pacaran, alias jomblo sejak zaman azali. Bukannya malu, kami justru bangga memiliki sebutan seperti itu.
Masih menikmati udara pagi, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Jam di layar ponsel sudah menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, itu artinya sebentar lagi akan banyak orang pergi ke sawah.
Aku tidak ingin menyebarkan virus tenar ini kepada petani-petani polos itu. Ya, aku menyebutnya polos sebab mereka tidak pernah menjaga protokol kesehatan seperti memakai masker, jaga jarak, mencuci tangan pun hanya menggunakan air dari sumber, tanpa sabun. Mereka menganggap bahwa virus ini tidak benar-benar ada. Ajaib. Jika di Surabaya hampir tiap jam aku mendengar berita kematian, di sini justru aku tidak pernah mendengarnya.
Kata Bunda, doa orang desa itu lebih tajam, tariqah-tariqah yang dilakukan seperti puasa senin-kamis dan menjaga istiqamah dalam beribadah, bisa menjadi salah satu penyebab mengapa kehidupan di sini begitu tenang. Namun meskipun demikian, aku tetap berdoa agar orang-orang di desa ini dapat diedukasi perihal menaati protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan terjadinya Covid-19.
Drrtt drrttt tring!
Getar ponsel membuat langkah cepatku sedikit melamban. Aku menekan tombol hijau setelah mengetahui nama sang penelepon. Kak Ayudia, ketua BEM Fakultas.
“Assalamualaikum, halo kak?”
“Waalaikumussalam, Alin. Gimana kabarmu? Udah baikan?”
Bertepatan dengan itu, aku telah sampai di depan rumah.
“Alhamdulillah, sudah sangat baik.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Ah iya, aku mau nanya tentang Pasal.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Mantan
ChickLitCovid Series! Cobaan datang bertubi-tubi di kehidupan Alinea Bratandari. Bermula ketika ia divonis terkena virus covid yang mengharuskannya isolasi mandiri di desa, Bunda yang harus dirawat di rumah sakit karena memiliki riwayat penyakit bawaan, di...