Kepingan Empat

42 4 0
                                    

Laptop abu-abu itu masih teronggok di atas meja belajar yang terbuat dari kayu dengan ukiran-ukiran khas Jepara, kota kelahiran almarhum Ayah. Aku memalingkan muka, teringat lagi raut kebahagiaan yang terpancar dari foto-foto Dokter Bima dan Mbak Biya.

Come on, Al! Itu hanya foto, mengapa kamu seperti cacing kepanasan gini?” gerutuku pada diri sendiri.

Beranjak dari kasur, aku mengambil beberapa bahan makanan untuk kumasak pagi ini. Hanya tersisa sayur kol, buncis, wortel, dan daging sapi. Sepertinya akan enak kalau dibuat sup. Apalagi cuaca di luar sedang dingin. Hujan sejak semalam masih mengguyur tanpa ampun, membuat orang di luar sana mungkin sedikit malas untuk pergi ke sawah. Pasalnya sejak tadi aku belum melihat seorang pun pergi ke sawah seperti biasa. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

Tring!

Gerakan tanganku yang hendak mengupas kentang terhenti. Aku mencuci tangan, merogoh ponsel yang bergelantung di saku celana.

Dokter Bima
Saya sudah di depan rumah. Tapi kok sepi banget ya.

Sedikit terkejut ketika aku membaca pesan itu melalui notifikasi, sebelum memutuskan untuk membuka WhatsApp dan membalasnya.

To: Dokter Bima
Loh, Dokter Bima kok cepet banget sudah sampai? Aku otw ke depan.

Sembari berjalan, kerudung yang tersampir di pundak kursi itu kupakai dengan cepat. Tak lupa pula meraih masker dan mengenakannya di area mulut serta hidung. Jika dihitung dari kedatangan Dokter Bima yang sudah berkali-kali mengunjungiku, hari ini kedatangannya terbilang sangat pagi. Karena biasanya lelaki itu akan datang di siang atau sore hari, sebab di pagi hari Dokter Bima masih sibuk dengan pasien-pasiennya yang bejibun.

“Dokter Bima kok sudah di sini? Ini… masih pagi loh,” ucapku beruntun ketika pintu sudah menampilkan sosok tinggi itu. Kehadiran Dokter Bima berhasil membuatku sedikit lupa dengan foto-foto semalam.

“Assalamualaikum, Al.” tegurnya sedikit terkekeh.
Aku meringis malu dari balik masker karena lupa tidak mengucap salam terlebih dahulu.

“Waalaikumussalam, Dokter Bima. Jadi, kenapa pagi-pagi sudah ke sini?”

“Lagi gabut  aja.”

Gabut? Seorang dokter kondang seperti Dokter Bima bisa gabut? Sebuah kemustahilan tampak di depan mata.

Aku menyampingkan tubuh, mempersilakan laki-laki itu untuk masuk ke dalam seperti biasa. Diam-diam, aku masih tidak mempercayai ucapannya yang mengatakan bahwa ia kesini sepagi ini karena gabut.

“Pasti nggak percaya sama ucapan saya, ya,” tebaknya tepat sasaran. Entah gelagatku yang terlihat atau memang Dokter Bima yang menyadari kesibukannya.

“Ya iyalah dok, nggak percaya. Toh kalaupun nggak ada pasien, Dokter Bima pasti sibuk sama berkas-berkas rumah sakit kan,” ujarku sembari duduk di hadapannya. Ia hanya terkekeh, tidak menjawab pernyataanku barusan. Tangannya justru mengeluarkan beberapa alat kesehatan yang sudah tidak asing di mataku.

“Tiga hari lagi kamu sudah bisa tes swab, Al. Nanti saya bawa alatnya ke sini.”

Aku hanya mengangguk.

Tring drrt drrtt!

Bukan nada dering ponselku. Dokter Bima bergegas meraih ponselnya di atas meja. Tanpa berniat mengintip nama penelpon, aku tidak sengaja melihat nama ‘Biya’ di layarnya. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan, tak ingin tertangkap basah melihat layar ponselnya. Nanti yang ada malah dikira penguntit.

“Waalaikumussalam, Biya. Ada apa?”

“…”

“Iya, ini sudah sama Al kok.” Dokter Bima sedikit melirik.

Bukan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang