Kepingan Delapan

59 7 0
                                    

Aku terpasung begitu mendengar sebuah nama familiar yang disebut oleh Mas Bima. Laki-laki yang dipanggil Pasal itu pun mendongakkan wajah, sontak mata kami bertemu. Pandanganku terkunci oleh mata hitamnya, bergerak untuk berpindah objek pun susah. Bahkan tanpa melepas maskernya, aku bisa memastikan jika laki-laki di depanku ini benar-benar Pasal Aradhana Badhrika. Entah apa hubungannya dengan Dokter Bima.

“Alin.” sebutnya hampir berbisik.

“Kalian kenal?” kali ini Mas Bima bersuara.

“Teman.”

“Mantan," ujar kami secara bersamaan.

Aku memalingkan muka sembari mengingit bibir bawahku. Tanpa dijelaskan, tampaknya Mas Bima sudah paham dengan status kami.

“Mas Bima kok bisa sama Alin?” Aku mendengar nada tegas dari pertanyaan yang dilontarkan Pasal.

“Dia tunangan Mas.”

Aku kembali menatap tak percaya dua laki-laki di hadapanku.

“Jadi, Alin. Pasal ini adik kedua saya. Semenjak ayah bercerai dari mama, dia memutuskan untuk tinggal sendiri,” jelas Mas Bima secara singkat. Nadanya pun terdengar dingin.

Belum cukup keterkejutanku atas pengakuan Mas Bima yang menyebutku tunangannya, kini aku kembali dibuat terkejut dengan pengakuannya tentang hubungan mereka yang tak lain adalah kakak-adik. Ah, mengapa aku tidak pernah menyadari hal ini. Apa karena wajah keduanya cukup berbeda sehingga aku tidak bisa menduga jika mereka bersaudara? Atau karena kepribadian Pasal yang memang tertutup jika membicarakan tentang keluarganya. Bahkan selama ini yang aku tahu hanyalah Pasal adalah anak tunggal dari keluarga broken home.

“Ish kok jadi diam-diaman begini. Lebih baik kita berdoa sama-sama untuk Mama. Mas Bima yang mimpin,” tegur Ara sambil menatap mata kami satu persatu.

Kami mengangguk dan berjongkok di sekitar makam Mama. Mas Bima memimpin doa dengan khusyu’. Sejenak, kami melupakan peristiwa barusan. Pandanganku jatuh di depan nisan Mama yang dihiasi dengan buket bunga. Mungkin tadi sebelum ke sini, Pasal terlebih dahulu membelikan bunga untuk ditaruh di depan nisan Mama. Sebab aromanya menyeruak, harumnya cukup menenangkan hatiku yang masih terkejut dengan surprise Tuhan sore ini.

***

"Ara mau ikut Mas Bima sama Mbak Alin dulu, atau langsung pulang aja?" tanya Mas Bima ketika kami masing-masing menggunakan sabuk pengaman.

Saat ini aku sedang duduk di belakang bersama Ara, seperti posisi kami sewaktu berangkat tadi. Adapun Pasal, laki-laki itu sudah terlebih dahulu pamit pulang setelah kami menunaikan salat asar berjamaah di masjid yang tidak jauh dari makam.

"Ikut ke mana memangnya?"

"Jemput keponakannya Mbak Alin di daycare," jawab Mas Bima.

"Wah, Mbak Alin punya keponakan?"

Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya.

"Sebenarnya aku pengen banget ikut, tapi habis maghrib ada kerja kelompok online sama teman-teman. Waktunya nggak cukup kalau aku ikut jemput keponakannya Mbak Alin. Lain waktu aja, ya," jelasnya penuh penyesalan.

"Iya, nggak masalah, Ara," Aku mengusap surai hitamnya yang sudah tidak tertutupi pashmina.

"Berarti ini kita antar Ara ke rumah dulu, terus lanjut jemput Ethan ya, Al?" Mas Bima menatapku dari kaca tengah.

"Iya, Mas," jawabku.

Laki-laki itu mengangguk samar, kemudian melajukan mobil menuju rumahnya untuk mengantar Ara.
Setelah memastikan gadis ceria itu masuk ke dalam rumah dengan aman, aku dan Mas Bima bergegas menjemput Ethan di daycare. Jarak antara daycare dengan rumah Mas Bima tidak terlalu jauh, hanya butuh sekitar lima belas menit untuk menjangkaunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang