Aku bernapas lega setelah menatap bangunan besar yang berdiri kokoh di hadapanku. Lima belas menit perjalanan menuju rumah Dokter Bima benar-benar membuat tubuhku secara brutal memproduksi keringat dingin. Rasanya seperti sudah berjam-jam kami berada di dalam mobil, namun tidak sampai-sampai.
Beruntung setelah kejadian tadi, Dokter Bima tidak menyingung apapun terkait Pasal dan ucapannya tadi. Ia hanya mengatakan kepadaku kalau sebelum ke makam Mama, kami terlebih dahulu ke rumah Dokter Bima untuk bertemu adiknya, Ara, yang masih duduk di bangku SMA. Aku berharap banyak, semoga saja kami bisa menjalin pertemanan. Sudah lama aku mendambakan momen ini, memiliki adik perempuan.
Baru masuk pekarangan rumah, kami sudah disambut dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bisa kutebak mereka adalah satpam dan asisten rumah tangga di sini. Berbeda dengan rumahku yang berada di gang sempit, rumah ini terletak di perumahan elit di kawasan Surabaya Pusat. Selain dua orang tadi, aku belum melihat siapapun di dalam rumah ini, termasuk Papa Dokter Bima dan adiknya, Ara.
“Mas Bimaaaaaaa!!! Ya Allah, Mas Bima beneran pulang?!”
Seorang gadis berlarian dari dalam rumah menuju keberadaan kami yang masih berjalan menapaki teras. Surai hitamnya mengayun indah berlawanan dengan gerakan tubuhnya. Sigap, Dokter Bima menyambut pelukan hangat dari gadis itu. Aku menyaksikan keduanya melepas rindu. Sesekali Dokter Bima mencium kening dan mengusap rambut hitam gadis itu. Siapa lagi kalau bukan Ara.
“Kamu apa kabar, dek? Sehat?” tanya Dokter Bima setelah mengurai pelukan mereka.
Kulihat beberapa kali Ara mengangguk semangat, sebelum menatapku dengan pandangan bertanya.
“Mas Bima bawa cewe kok diam aja. Nggak mau dikenalin sama Ara? Ihh.”Hampir saja aku memekik ketika Ara menggandeng lengan kami, menuntun berjalan menuju ruang tamu.
Dari gaya bicara dan gerak geriknya, gadis itu merupakan pribadi yang riang dan ceria. Aku bahkan sempat meragukan jika Ara adalah siswi SMA, sebab dari sikapnya saja gadis ini lebih pantas dijajarkan dengan anak SMP, atau bahkan SD. Apalagi wajah imut dan gigi gingsulnya yang menambah kesan kekanakan pada dirinya.“Iya-iya. Kenalin nih, Mbak Alinea. Temannya Mas Bima.”
Aku tersenyum sembari menerima uluran tangan darinya, lagi-lagi aku dibuat terkejut ketika Ara mencium tanganku.
“Salam kenal Mbak Alin. Aku Ara, adiknya Mas Bima yang paling imut hehe,” cengirnya masih dengan menggenggam tanganku.
“Salam kenal juga, Ara. Adeknya Mas Bima yang paling imut.” Tak tahan, aku mencubit lembut pipi gembilnya dengan sebelah tanganku. Kemudian mengusap rambut hitamnya yang menjuntai sepinggang.
“Eh, kamu panggil saya apa tadi?” tanya Dokter Bima sedikit berbisik.
Aku mengerjap sesaat sebelum tersadar dengan ucapanku sendiri yang memanggil Dokter Bima dengan sebutan ‘Mas’.
“Mas Bima?” ulangku tak kalah lirih.
“Saya suka panggilan itu,” ucapnya sambil senyum-senyum.
Aku ikut tersenyum malu di balik masker sembari menetralisir degup jantung yang sudah berdangdutan ria. Rasanya, sudah lama aku tidak merasakan degup yang seheboh ini.
“Ya sudah, kamu siap-siap sana, Dek. Kita mau ke makam Mama,” titah Dokter Bima, memecah interaksi di antara kami.
Ara mengangguk patuh sebelum meninggalkan kami di ruang tamu. Kini, tinggallah aku dan Dokter Bima. Laki-laki itu mempersilakanku duduk.
“Di rumah ini cuma bertiga?” tanyaku penasaran.
Dokter Bima menoleh sebentar. “Kalau pagi sama sore. biasanya ada Buk Tin yang masakin Ara. Di luar itu, cuma mereka bertiga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Mantan
ChickLitCovid Series! Cobaan datang bertubi-tubi di kehidupan Alinea Bratandari. Bermula ketika ia divonis terkena virus covid yang mengharuskannya isolasi mandiri di desa, Bunda yang harus dirawat di rumah sakit karena memiliki riwayat penyakit bawaan, di...