Kepingan Satu

94 8 2
                                    

Sesungguhnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, maka akan kembali kepada-Nya. Mungkin kalimat itu yang membuatku masih bisa bertahan di detik ini. Percaya akan takdir perihal ditinggalkan, meninggalkan, atau bahkan meninggal. Tiga kata dengan kata dasar yang sama. Aku tidak akan membahas ketiganya di sini meskipun nanti setiap orang pasti mengalaminya. Yeah, aku hanya sedikit berpikir tentang 'ditinggalkan' setelah seseorang berhasil datang dan pergi dari kehidupanku dalam waktu singkat.

Sesingkat itu pula, kepulan debu bercampur angin yang berlarian di tengah sawah mengalihkan pandanganku. Niatku hanya tiga hari berada di sini, tahu-tahu sudah seminggu saja. Sangat disayangkan, indera penciumanku masih belum berfungsi normal sejak terkena Covid-19 beberapa hari yang lalu. Aroma tanah bekas hujan pun baunya tidak sampai di hidungku. Tak apa, setidaknya aku masih bisa merasakan kesegaran hawa sore. Dan yang terpenting, aku masih diberi kebebasan untuk bernapas.

29 Juli 2020. Awal mula dokter mengharuskan aku untuk karantina mandiri, menjauh dari keluarga, namun tetap dipantau oleh dokter Bima-teman seprofesi kakak perempuanku. Aku meninggalkan Bunda dan Mbak Biya. Beruntung, saat itu kegiatan belajar mengajar di kampus belum berjalan normal karena masih terhitung libur semester dan libur hari raya di kalender akademik. Jadi, aku tidak perlu menambah beban pikiran dengan kegiatan kampus yang sebenarnya memuakkan. Tugas-presentasi-tugas-presentasi, yang semuanya dilakukan secara daring. Memuakkan, tapi aku butuh itu.

Tring!

Satu notifikasi WhatsApp muncul di layar ponsel. Niatku yang hendak bermain dengan tanaman putri malu di pinggir sawah pun urung kulakukan, mengingat ini sudah sore. Para petani dan penggembala kambing juga sudah pulang dari hamparan kekuningan itu. Sangat aman dan masih ada waktu untuk aku ke sana nanti, sendirian.

Makanannya aku taruh di depan pintu rumahmu, tolong dimakan! Besok aku ke sana memeriksamu.
Begitu isi pesannya.

Pesan dari seseorang yang sangat aku hindari saat ini, setelah kegagalan atas kisah percintaan di masa lalu yang membuatku menutup diri. Pengecut memang! Aku sudah memberi sebutan itu untuk diriku sendiri. Alinea Bratandari. Seorang perempuan pengecut yang tidak berani menghadapi masa depannya lagi.

Tanpa membalas pesan dari laki-laki yang kupanggil Dokter Bima itu, kakiku mengayun menuju pintu untuk mengambil makanan yang dikirim olehnya. Sedikit menghargai jerih payahnya yang menaruh makanan di depan pintu bukanlah sebuah hal buruk kan? Aku tahu pasti kesibukan Dokter Bima mengalahkan ajudan presiden, atau bahkan presiden.

Apalagi virus Covid-19 yang muncul beberapa bulan lalu berhasil meluluhlantakkan banyak orang, menambah jumlah pasien yang memerlukan penanganan khusus, tidak terkecuali aku. Namun jika dibandingkan dengan orang-orang yang tengah berjuang melawan Covid-19 di rumah sakit, aku sedikit lebih beruntung karena tidak memiliki penyakit bawaan dan daya tahan tubuhku yang kuat.

Beberapa kasus pasien meninggal disebabkan karena terinfeksi Covid-19 dengan penyakit bawaan dan daya tahan tubuh yang lemah. Kebanyakan korbannya adalah orang-orang lanjut usia yang ditandai dengan gejala berat seperti sesak napas, gangguan indera penciuman dan indera perasa, tulang dan sendi terasa ngilu, batuk kering, dan demam. Di antara gejala berat itu, aku hanya mengalami gangguan indera penciuman dan batuk kering.

Kata Dokter Bima, gejalaku termasuk ringan karena tidak sampai sesak napas dan demam. Kendati demikian, aku harus tetap melakukan aktivitas sesuai dengan anjurannya. Berjemur di bawah matahari pagi selama minimal 30 menit, olahraga ringan, melatih indera penciuman dengan bau-bauan tajam seperti aromaterapi dan minyak kayu putih, makan makanan yang sehat, dan tetap menjaga kebersihan.

Mulanya aku tidak mengerti jika batuk kering yang tengah melandaku adalah salah satu gejala ringan Covid-19, aku hanya menganggapnya batuk biasa yang jika diberi obat herbal cair berwarna hitam pekat itu akan hilang. Beruntung sejak pertama kali aku menderita batuk kering ini, Mbak Biya sudah menyuruhku memakai masker selama keluar kamar, meskipun hanya untuk mandi atau menonton televisi. Beberapa hari setelah itu batukku semakin parah.

Bukan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang