Death Game I

42 17 0
                                    


.

.

Hantu itu...

Tidak ada—

.

.

Tapi...

Aku melihat mereka.

.

.

Ika zordick

.

The first horror story

.

Death Game I

Normal.

Itu adalah kata impian yang selalu diinginkan Jeongin. Menjadi normal. Melihat segalanya dengan matanya sendiri sebagai manusia biasa. Dia melihat apa yang orang lihat dan tak melihat apa yang orang lain tak dapat lihat. Ini adalah hidup yang diimpikan Jeongin.

Tapi—

Kenapa ia merasa kesepian?

Biasanya, sesosok wanita dengan pakaian ala wanita London abad 19 akan ada di samping kirinya. Bergelayut manja dan menyanyi dengan nada yang berbeda beda. Terkadang mendayu atau ceria. Sekarang wanita itu tidak ada.

Jeongin memejamkan matanya. Biasanya lelaki berambut merah itu akan memarahinya. Ya memarahinya tentang betapa idiotnya dia mencelakakan teman temannya sendiri. Jeongin sadar dia tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Itu seperti satu arah. Jeongin tidak bisa berbicara dan Jeongin tidak bisa mengerti apa yang mereka katakan.

Hanya lelaki berambut merah itu yang bisa bicara bahasa manusia sepertinya—selebihnya Jeongin ragu. Seumur hidupnya, tidak, selama ia mengenal wanita yang selalu berdiri di sisi kirinya itu, wanita itu hanya bisa mendumel namun suaranya tidak terdengar. Wanita itu hanya bisa bernyanyi.

Ya menyanyi.

"London Bridge is falling down. Falling down. Falling down" tanpa sadar Jeongin menyanyikannya.

"Hei Jeongin! Berhentilah bernyanyi lagu mengerikan seperti itu" Felix yang duduk tidak jauh dari Jeongin jadi merinding sendiri. Mereka sedang di perpustakaan. Gedung tertua di sekolah mereka. Gedung yang dipenuhi oleh mahluk mahluk aneh yang kini tak bisa di lihat Jeongin lagi.

"Maaf," Jeongin tersentak. Dia tahu ia sedang bernyanyi tidak seperti saat wanita itu masih di sampingnya. Jeongin benar benar tidak akan berhenti sampai ia bernyanyi lagu itu hingga selesai.

Seungmin menepuk kepala Felix. "Kau berisik. Ini perpustakaan."

Ya benar. Perpustakaan. Tempat tongkrongan anak pintar sejenis Seungmin. Felix juga pintar tapi ia benci perpustakaan. Dia lebih suka belajar secara audio dari pada visual seperti Seungmin.

Bagaimana dengan orang orang yang tidak masuk dalam kategori pintar?

Seperti Hyunjin misalnya.

Lelaki tampan sekaligus cantik itu cukup menikmati dirinya menunggu di depan gedung perpustakaan bersama Changbin dan Jisung. Mereka bertiga cukup anti dengan buku. Hyunjin tidak ingin berurusan dengan perusak lingkungan—dalam artian buku berasal dari pohon, semakin banyak buku yang dibaca akan semakin gencar membantu penebangan pohon, yang artinya merusak lingkungan—ini bodoh. Itu akal akalah Hyunjin saja agar ia terhidar dari deretan kata kata yang tak ia mengerti. Ia hanya kurang imajinatif untuk mengerti isi buku. Buktinya, Hyunjin bukan seorang pecinta lingkungan. Dia masih membuang sampah sembarangan.

GHOST [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang