SUDAH DITERBITKAN OLEH REX PUBLISHING DALAM RANGKA NULIS MARATON BATCH 2
***
Alejandro Rexford membenci segala bentuk pengendalian, kecuali atas dirinya sendiri. Karena itulah ia membenci Quorra Wyatt yang secara fisik maupun mental mengambil alih p...
Dengan demikian, kendati tanpa susunan huruf yang dirangkai untuk diverbalkan, apa yang kami lakukan sudah mewakili dan memperjelas status kami sekarang
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Musim dingin Santander, Madrid, 9 Februari 10.42 a.m.
Mengejutkan. Semuanya serba mengejutkan. Mulai dari Alejandro menelepon dan mengajakku bermain ice skating sampai menyetujui akan membantuku mengelupas selotip-selotip yang membingkai pola geometris di ruang tunggu rumah sakit hewan eksotis. Entakan jantung di balik rongga dadaku pun meningkat cepat karenanya. Dan berdiri sedekat ini dengan Alejandro membuatku merasa kecil, tak berdaya sekaligus ingin melemparkan diri ke dekapan pria beraroma kayu memikat ini.
Ugh! Seandainya tahu Alejandro akan menemuiku, seharusnya aku mengenakan pakaian cantik dan beraroma wangi. Bukan ala kadarnya seperti ini dan bau cat. Kurasa, ini buruk. Mungkin aku akan memintanya menungguku mandi dan mengganti pakaian dulu sebelum pergi makan siang dilanjutkan bermain ice skating.
Kupikir sewaktu tidak memberi komentar tentang tiket ice skating pemberian orang tua Nilo, Alejandro tidak tertarik. Lalu aku berencana ke sana bersama Zurina dengan tiket itu. Yang tidak terduga olehku, tiketnya justru disimpan Alejandro dan aku tidak berani memintanya karena ... yah ... toh itu hanya tiket yang bahkan bisa kubeli sendiri. Meski demikian, rupanya harapanku seolah pupus dan membuatku cemberut. Bagaimanapun cuma-cuma itu lebih baik, bukan?
Namun, tiba-tiba pria itu membawa harapan baru dengan berkata menyayangkan tiket-tiketnya kalau tidak digunakan. Karena secara harfiah, tiket itu milik kami. Apakah aku salah sangka mengira Alejandro sedang mendekatiku terang-terangan dengan alibi tersebut?
Oh! Tuhan! Apa yang sebenarnya kupikirkan? Jangan sampai ibu tahu aku sedang mengalami gejala ini. Ibu pasti akan marah besar dan menyuruhku fokus pada karier serta melupakan perasaan—yang dipercayainya merupakan sebuah kebodohan—ini. Seperti yang sudah-sudah.
Semenjak tersibaknya hubungan gelap ayah dengan beberapa wanita di waktu aku masih sekolah menengah atas, ibu menjadi protektif sekali terhadap hal semacam ini. Ibu tidak ingin aku merasakan apa yang ibu rasakan—dikhianati dan mengharuskannya memilih perceraian serta merawatku seorang diri ketimbang memaafkan atau memberi ayah kesempatan. Meskipun pada kenyataannya, aku sudah cukup terkena dampak keluarga tidak utuh sampai dewasa, mandiri dan tinggal sendiri.