Sapu Tangan Darah

13 5 4
                                    


Kuremas kuat sapu tangan usang berwarna putih, mencoba mencurahkan rasa benci pada sebuah benda mati. Sapu tangan dengan motif burung bangau yang terdapat dua buah huruf 'R' di salah satu sudut sapu tangan itu. Ada noda bekas darah mengering juga di sana.

Sapu tangan tersebut merupakan petunjuk satu-satunya yang bisa membawaku pada pelaku pembunuhan Ibu. Satu tahun lalu, Ibuku meninggal ditabrak lari oleh seseorang. Aku masih ingat bagaimana mengerikannya peristiwa itu. Peristiwa tersebut seolah masih terpatri jelas diingatanku, bahkan rasanya baru kemarin aku mengalaminya.

Saat itu, Aku dan Ibu hendak menyebrang setelah pergi berbelanja bulanan bersama. Aku tak menyangka bahwa kegiatan belanja itu merupakan kegiatan terakhir yang bisa kulakukan dengan Ibu. Tak ada lagi dan tak akan pernah bisa kulakukan lagi setelah itu.
Saat itu, keadaan jalan memang sangat lengang.

Aku berjalan jauh mendahului Ibu, tanpa diduga mobil Honda Jazz berwarna putih melaju sangat cepat dari arah berlawanan. Aku terpaku, tak mampu melakukan apapun. Samar kudengar suara Ibu berteriak.

"Devlin, awas?!" teriak Ibu padaku.

Aku pasrah tak tahu harus melakukan apa,  mobil itu pun sudah sangat dekat dengan jarakku kini. Namun, sebuah tangan mendorong ku kuat ke tepi jalan. Suara benturan terdengar begitu melengking di telingaku. Seketika itu tubuhku lemas, kulihat dengan jelas tubuh Ibu tertabrak dan terpental hingga beberapa meter. Belanjaan yang dibawanya berhamburan tak tentu arah di tepi jalan. 

Di tepi jalan yang lain, aku melihat Ibu yang begitu aku sayangi sudah terkapar lemah dengan darah segar yang tak henti mengalir di kepalanya.

Kuberlari cepat. Kudekap erat tubuh Ibu yang berlumuran darah. Mataku memanas, air mata sudah berjatuhan tak terkira di pelupuk mataku.

Ada rasa sakit tak terkira yang menjalari hatiku seketika. Rasa sakit yang tak terbendung nyerinya. Aku sempat mengutuk seseorang yang telah menabrak Ibuku itu.

Si pengemudi mobil putih itu pun sempat berhenti sekilas, menghampiri kami. Detik berikutnya dia berdiri mematung melihat apa yang sedang disaksikannya. Lalu, dengan tubuh gemetar dia kembali masuk ke mobil dan melajukan mobil dengan begitu cepat.

Bodohnya aku yang hanya menangisi keadaannya, tanpa melakukan apapun. Aku bahkan tak sempat berteriak pada si pelaku tersebut. Dengan frustasi aku terus menangis dan bergumam,"Ibu, bangun!"

Saat itu jalanan benar-benar sepi. Sangat dimaklumi karena jam memang sudah menunjukan pukul 11 malam, wajar jika jalan sangat sepi saat itu. Butuh sekitar beberapa jam. Entah bagaimana, setelah kejadian itu, polisi mengatakan bahwa ada sebuah sapu tangan yang tertinggal di tempat TKP.

Mereka mengira bahwa itu milik Ibuku yang kuyakini  bahwa itu merupakan milik si pelaku. Sejak saat itu aku selalu membawa benda terkutuk itu kemanapun. Mencoba mencari tahu siapa pelaku tabrak lari Ibu. Sudah sejak satu tahun peristiwa itu berlalu, tapi polisi tak sedikitpun menemukan pelakunya, bahkan tak ada petunjuk apapun yang mereka dapatkan. Tak ada cctv di tempat kejadian. Entah bagaimana harus mencari si pelaku.

Seseorang menyikut tangan kiriku keras. Sekilas aku tersadar akan lamunanku, kejadian yang selalu aku anggap sebagai mimpi. Mimpi buruk yang tak pernah kuharapkan. Mimpi buruk yang mampu mengubah hidupku 180 derajat. Mimpi buruk yang mampu memberiku luka yang amat mendalam. Aku masih mau berharap bahwa ketika aku terbangun semuanya akan berjalan seperti dulu, hanya ada kebahagiaan dan Ibu masih menemaniku.

"Pak Bara memanggilmu beberapa kali!" bisik Satria yang lantas membuatku mengalihkan pandangan pada seorang pria paruh baya yang kini tengah berdiri di depan kelas dengan tatapan menuntut padaku.

Sungguh. Aku tak tahu apa yang tadi dibicarakannya. Pikiranku kosong, benar-benar tak mampu menebak percakapan yang terjadi.
Pak Bara merupakan guru baru di kelasku. Iya, di kelasku! Dia guru lama di sekolah ini, SMA 20 Pertiwi Raya. Dia telah mengajar bahasa Indonesia selama 10 tahun, namun ini merupakan kali pertama kelasku, sebelas IPA dua diajar olehnya. Dia merupakan guru pengganti, karena guru sebelumnya sedang cuti hamil.

"Perlu saya ulangi, Devlin?" kata-katanya begitu tegas lengkap dengan tatapannya yang juga tajam.

Tanpa menjawab, aku justru menatap Satria dan meminta penjelasan padanya. "Dia setuju pak, dia mau menjadi penanggung jawab atas semua tugas yang nanti bapak berikan pada kami."
Aku menatapnya heran sekaligus sebal.

Hey, apa-apaan ini?! apa maksudnya? Aku bahkan tak pernah menyetujui itu.

Pak Bara tersenyum simpul, lalu berkata kembali "Pelajaran kali ini selesai, minggu depan kita lanjut dengan materi tentang membaca intensif."

"Untuk kamu, Devlin, jangan lupa untuk mengkoordinir teman-temanmu agar mereka mengumpulkan tugas mengarang minggu depan dengan tepat waktu!"

kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban atas perintah Pak Bara. Detik berikutnya, dia berjalan keluar kelas masih dengan gaya tegasnya seperti biasa. Aku pun mengalihkan pandangan pada Satria yang masih asyik bermain game di gadgetnya
.
" Lo kok nyanggupin permintaan Pak Bara ke gue, sih?"

"Ya, daripada lo bengong mulu kayak orang bego gara-gara nggak merhatiin dan malah ngelamun," Satria mengalihkan perhatiannya dari game yang tengah dimainkan

"lo ngelamunin peristiwa itu lagi?" dia menatapku dalam. Ada kekhawatiran yang begitu terlihat dari sorot matanya.

Tak ada jawaban dariku. Aku malas menanggapi ucapannya. Aku yakin, sangat yakin bahkan, dia pasti akan mengatakan bahwa itu sudah berlalu dan aku tak berhak untuk mendendam pada orang yang telah membunuh Ibuku.
Itu gila?!

Bagaimana mungkin aku tak menyimpan kebencian terhadap orang yang telah merenggut nyawanya? Orang yang telat merenggut malaikat paling berharga dalam hidupku. Orang yang bahkan telah mengubah kehidupanku dan menorehkan luka yang sangat sulit disembuhkan
Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan manusia seperti itu?!

Bahkan jika Ibuku tak dibunuh pun aku sangat sulit menerimanya kehilangannya.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu?!

Oh aku sangat membencinya!

"Udahlah, toh lo udah nggak suka mimpi buruk lagi, kan?"

" Iya, udah dari tahun lalu gue nggak pernah mimpi buruk lagi."

"Syukurlah." dia tersenyum. Sekali lagi entah mengapa aku merasakan kelegaan di setiap kata yang baru saja diucapkannya.

"Tapi gue masih belum ingat wajah si pelaku!"
suaraku bergetar saat mengatakannya. Ada perasaan sesal dan marah yang berkecamuk dalam hatiku.

Aku memang sempat melihat wajahnya, tapi aku mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dimana aku kehilangan sebagian ingatanku. Sayangnya, ingatan yang hilang itu tentang wajah si pelaku. Jadi aku tak mengingat wajah si pelaku, bahkan walau sudah berpuluh kali aku melakukan konsultasi dengan psikolog. Sungguh. Aku berharap suatu hari nanti pelaku yang membunuh Ibuku bisa ditangkap dan dihukum dengan setimpal.

Satria menepuk pundakku pelan, mencoba menguatkan dan memberikan semangat padaku. Dia memang sahabat paling baik. Dia selalu ada ketika aku dalam kesulitan. Beruntungnya aku karena Tuhan seolah selalu berusaha membuat kami bersama.







Notes

Halo ini cerita baruku, yaa..
Kali ini aku mencoba menulis genre thriller.
Semoga kalian semua suka dan bisa merasakan ketegangan yang juga dirasakan oleh Devlin.

Selamat membaca!

NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang