Nafasku masih memburu seiring rasa takut yang masih menghimpit hati. Keringat dingin masih mengalir di dahi. Kurasakan seseorang menarik lengan kananku kuat, menimbulkan rasa sakit yang tak terkira.
"Lo udah pulang? Gue dari tadi nungguin lo di sini."
"Hm..." mulutku terbuka, namun tak ada kata yang terucap. Hanya gumaman tak jelas yang begitu pelan terdengar. Aku masih menatap Satria seperti orang bodoh.
"Lo kenapa sih?" Satria hanya mampu menatapku lekat sambil beberapa kali menggerakkan kelima jarinya di hadapanku.
Tak ada tanggapan dariku. Aku duduk begitu saja membentur kerasnya paving block parkiran. Tubuhku lemas. Aku masih mencerna peristiwa yang baru saja terjadi. Aku mencoba melirik sekilas ke arah koridor kelas. Tak ada. Seseorang yang berpakaian serba hitam itu telah menghilang. Jantungku masih berdetak cepat, lalu mataku mulai berembun.
Oh Tuhan apa itu tadi? Pasti itu hanya ilusi.
"Itu Cuma halusinasi 'kan? Iya 'kan? Iya! Pasti Cuma halusinasi gue!" kataku berulang kali.
Satria menatapku heran, "Dev, lo kenapa sih?"
"Ayo kita pulang aja, Sat. Nanti gue jelasin." Guratan halus terlihat jelas di dahinya.
Satria membantuku berdiri dan segera pergi dari sana menggunakan motor merah kesayangannya.
***
"Sekarang ceritain lo tadi kenapa?"
Aku meliriknya sekilas, lalu meraih gelas yang berisi teh hangat dari tangannya. Ketika sampai di rumah tadi satria langsung meminta Mbok Iroh untuk membuatkan teh hangat untukku, katanya aku terlihat begitu lelah. Selain itu wajahku pun pucat pasi.
"Tadi, lo ngapain narik tangan gue?" tak menggubris ucapannya, aku malah balik bertanya padanya.
"Jawab pertanyaan gue dulu! Lo aneh sejak pulang tadi, lo cuma diem." ujar Satria tegas. Terdengar nada suaranya yang kini mulai meninggi. Aku masih diam mematung. Menatapnya sekilas, lalu kembali meminum teh manis tadi.
Sejujurnya aku juga masih bingung dengan apa yang terjadi barusan. Seolah aku sudah tak mampu membedakan antara realita dan halusinasi. Namun dengan sangat yakin aku akan berkata bahwa peristiwa tadi bukan hanya ilusi semata. Itu nyata. Bahkan sosoknya pun bisa dengan detail aku jelaskan.
" Tapi gue pengen lo jawab pertanyaan gue dulu."
"Karena gue liat lo lari-lari ketakutan tadi."
"Oh...." aku bercicit pelan.
Satria menggelengkan kepalanya jengkel, dapat kulihat dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu dengan nada lebih tegas dia bertanya, "Dev, gue gak harus maksa lo buat cerita 'kan?"
"Gue cuma ga mau lo nganggep gue aneh! Paling kalo gue cerita juga lo cuma bilang gue aneh."
Satria menatapku tajam. Tatapannya dingin, sedingin perlakuannya beberapa detik kemudian. Dia beranjak dari sofa dan pergi meninggalkanku begitu saja, tak menggubris perkataanku.
"Sat... tadi itu cuma ilusi gue doang 'kan?" aku berkata lirih. Tak yakin bahwa Satria mampu mendengarnya, namun ternyata ucapanku itu mampu membuat satria berhenti.
Dia memutar tubuhnya menghadap ke arahku, menatap penuh arti. Lalu, dia kembali memilih duduk di sampingku.
"Gue takut, Sat. Gue takut. Gue nyesel. Gue sakit. Gue ga tau harus ngapain lagi, bayangan hitam itu seolah-olah terus ngikutin gue. Gue ga bisa bedain ilusi sama kenyataan."
"Udahlah, mungkin lo emang kecapekan jadi omongan lo ngelantur. Kita bahas besok aja, ya? Gue mau ngusulin sesuatu buat nyari tahu siapa pelaku yang neror lo sama pelaku yang dorong Suci." Satria pergi begitu saja meninggalkanku yang masih tak mengerti. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare
Mystery / Thriller"Gue mimpi buruk lagi. Lo tahu, kan, setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi?" Bisakah kau bayangkan rasanya menjadi Devlin?! Ibunya meregang nyawa tepat di depan matanya. Sayangnya, dia tak pernah mendapatk...