Di antara banyak nya hal di dunia ini, memiliki sahabat yang selalu ada menjadi salah satu hal yang paling aku syukuri. Khususnya kehadiran Satria di hidupku. Dia benar-benar sebuah anugrah yang tak bisa tergantikan oleh apapun.
Semenjak Ibu meninggal, aku benar-benar tak punya teman mengobrol selain Mbok Iroh. Ayah sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah. Sore ini, aku menatap sekeliling. Menatap gerak gerik Satria yang tengah bermain games di handphone sambil sesekali melahap cemilan dan sirup yang baru saja disajikan ulang oleh Mbok Iroh. Sedang Benny sendiri sudah pulang dari tiga puluh menit yang lalu.
Hening. Tak ada yang saling berbicara di antara kami. Kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku yang masih sibuk mengerjakan tugas Mading, menulis beberapa informasi dan tips yang akan diterbitkan untuk esok hari, sedang satria yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun entah mengapa, kami merasa nyaman dengan situasi hening ini. Seolah tak satria tak perlu melakukan apapun, hanya dengan duduk di sampingku saja sudah membuatku nyaman dan tenang.
"Btw, Sarah kemana? Kok ga ikut kumpul bareng kita?" Satria menatapku sekilas, kedua tangannya masih sibuk menggenggam handphone, lalu dia kembali fokus menatap layar persegi itu.
"Tadi sih kata Benny dia lagi ada urusan, ada kerja kelompok gitu lah. Ga paham gue. Nanti tinggal kita kasih tahu informasinya aja sama dia"
Satria hanya mengangguk paham atas penjelasanku, masih menatap layar persegi itu.
Saat kami sedang asyik dengan dunia masing-masing, suara langkah kaki seseorang mendekat. Lalu, diikuti dengan suara tegas dan berat, "Dev, ikut Ayah! Ayah mau bicara sama kamu."
Aku yang baru saja merebahkan tubuhku di sofa kembali bangkit dan mengikuti kemana langkah kaki Ayah pergi.
Di ruang tengah, kulihat Ayah menaruh tas kerjanya di sofa. Menarik napas dalam seolah sedang menenangkan perasaannya. Aku tak paham juga tak mengerti apa yang hendak ayah bicarakan padaku hingga pembicaraan ini tak boleh didengar oleh Satria.
"Ayah dengar dari Mbok Iroh, kamu mau mencoba mencari pelaku tabrak lari Ibumu? Kamu- tidak maksud ayah kalian bertiga berencana untuk mencari pelaku tabrak lari sekaligus pelaku teror di sekolah?"
Ayah menatapku tajam, tatapan itu seolah mampu membuat nyaliku langsung menciut. Aku menunduk dalam tak berani menatap mata elang itu.
"Kamu tahu kan kalau apa yang kamu lakuin itu berbahaya? Kamu ga takut sesuatu akan terjadi sama kamu? Cukup ayah kehilangan Ibumu. Jangan buat ayah merasakan kehilangan lagi, Devlin,"
Ujar ayah dengan suaranya yang sangat berat namun parau. Seolah perasaan kehilangan itu masih mencekik kerongkongannya, menyisakan nyeri di hatinya yang tak dapat dijelaskan dan dirasakan oleh siapapun. Lalu, dengan sangat lembut Ayah menangkup kedua pipiku. Membuatku mau tak mau harus menatap mata itu kembali.
"Kalau ada yang sedang berbicara itu liat matanya, Dev. Kamu mendengar apa yang Ayah katakan?" Aku hanya mampu mengangguk pelan mendapat perlakuan dari Ayah.
"Mulai saat ini berhenti mencari pelaku tabrak lari Ibumu. Berhenti juga mencari pelaku pembunuhan atau teror di sekolah dan di rumah. Mulai bulan depan, kita pindah kembali ke rumah lama. Lalu kamu juga akan pindah sekolah lagi. Lebih baik kita menghindar dari segala hal yang membahayakan daripada harus terluka dan kembali kehilangan. Ayah tak sanggup, Dev. Ayah tak sanggup kehilangan kamu. Kamu satu-satunya yang ayah punya. Kamu satunya alasan Ayah bertahan sampai detik ini. Jadi untuk kali ini, tolong dengarkan Ayah." Setelah mengatakan itu, ayah melepaskan tangannya di pipiku. Mengambil tas kerjanya hendak berlalu pergi di hadapan ku.
"Ayah tak bisa begini! Ayah tak bisa seenaknya begini padaku! Ayah tak tahu betapa tersiksanya aku kehilangan Ibu! Ayah tak tahu betapa aku rasanya mau gila sejak melihat Ibu mati di hadapanku. Ayah tak tahu dan ayah tak akan pernah tahu! Yang terluka bukan cuma Ayah! Aku juga! Yang kehilangan bukan hanya Ayah, tapi aku juga!" suaraku bergetar hebat saat mengatakan itu. Air mata sudah membendung di kedua sudut mataku. Aku sudah tak tahan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare
Mystery / Thriller"Gue mimpi buruk lagi. Lo tahu, kan, setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi?" Bisakah kau bayangkan rasanya menjadi Devlin?! Ibunya meregang nyawa tepat di depan matanya. Sayangnya, dia tak pernah mendapatk...