Tragedi

2 0 0
                                    


Aku selalu percaya bahwa bagaimanapun sebuah bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium. Begitupun kasus tabrak lari yang terjadi pada Ibu, lalu kasus percobaan pembunuhan yang terjadi pada Suci. Semua kasus tersebut membuatku merasa frustasi.

Sudah berbulan-bulan aku merasa seolah hidup dalam sebuah lorong hitam yang tak berujung. Kegelapan terus menerus mengikuti, seolah merenggutku dari kewarasan. Namun hari ini berbeda, sebuah benda yang kutemukan di TKP memberikan angin segar bagi hidupku. Memberikan ku harapan yang selama ini sudah kukubur dalam. Maka dari semua harapan itu, akhirnya aku memutuskan untuk berdiskusi dengan Satria, Benny dan Sarah.

"Guys, gue nemu barang bukti di TKP waktu kejadian kecelakaan Suci. Ternyata benda yang gue temuin itu ada inisial nama yang sama dengan inisial di sapu tangan pelaku tabrak lagi ibu gue. Menurut kalian gue harus gimana?" Aku mencoba memulai percakapan. Terlihat Satria, Benny dan Sarah seketika menghentikan kegiatannya masing-masing.

Satria segera menghadapkan badannya lurus padaku, sedang Benny dan Sarah hanya mampu menatap kosong ke arahku. Seolah masih mencerna apa yang baru saja kukatakan.

"Dev, inget jangan gegabah dalam ambil keputusan. Gue ga mau lu kenapa-kenapa." Satria memperingatkanku. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai respon.

Sejujurnya, aku juga masih memikirkan tindakan yang hendak dilakukan. Karenanya aku mengajak mereka untuk mendiskusikan masalah ini.

Benny dan Sarah masih saja mematung, mencoba menebak ke arah mana pembicaraan antara aku dan Satria. Aku baru ingat jika mereka berdua belum diberitahu perkara kejadian tabrak lari. Akhirnya setelah menguatkan diri mengingat peristiwa yang menyakitkan itu, aku memberikan kode pada Satria untuk bercerita kepada mereka berdua.

"Ibunya Devlin mengalami kecelakaan-"

"Sorry, Sat, gue potong. Gue mau ambil minum dulu, ya."

Bohong. Aku bukannya mau mengambil minum, kuakui bahwa sedari tadi mereka tak disuguhi minuman olehku. Tapi biasanya mereka juga bisa mengambilnya sendiri. Tindakanku hanyalah sebatas pelarian semata. Sampai saat ini, aku masih belum bisa mendengar seseorang menceritakan kisah tentang hidupku. Lebih lagi kisah tentang kematian ibu.

Aku bangkit dari tempat duduk. Menaruh tas di kursi dengan asal. Bergegas berjalan menuju dapur, mencoba menahan semua perih yang terus saja menggerogoti hati. Ternyata, hatiku tak pernah bisa dibohongi. Luka itu masih sama, masih membekas dan belum juga mengering.

Sesampainya di dapur, dadaku terasa semakin sesak.

Satria melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong, "lebih tepatnya, Ibunya Devlin mengalami tabrak lari sekitar 6 bulan lalu. Itu juga yang bikin Devlin pindah sekolah dan tempat tinggal. Ayahnya khawatir sama perasaan Devlin. Sorry gue ga bisa cerita ke kalian. Gue masih jaga perasaan Devlin."

Satria menyelesaikan kalimatnya, samar-samar aku masih bisa dengan jelas mendengar perkataannya. Saat itu, aku sudah tak mampu lagi mengontrol emosiku. Tanganku yang sedang menggenggam gelas berisi air itu terlepas begitu saja. Tubuhku bergetar hebat. Perasaan sedih, benci, menyesal dan bersalah saling beradu menghampiri. Aku bahkan tak mampu mengenali diriku sendiri. Aku tak yakin perasaan apa yang dominan menguasai. Detik itu juga aku hanya mampu menangis meraung dengan kencangnya.

Satria, Benny dan Sarah segera menghampiri begitu mendengar tangisanku. Begitu juga dengan Mbok Iroh yang berjalan tergopoh-gopoh dan segera memelukku erat.

"Gapapa non, gapapa. Ada Mbok Iroh. Non Devlin tenang, ya. Gapapa Non Devlin aman sama Mbok Iroh." Aku merasakan perasaan hangat yang mengalir begitu saja di setiap usapan halus Mbok Iroh di bahuku.

NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang