Pembunuhan

2 1 0
                                    


"Gue ngeliat cewek jatuh dari lantai dua, dia lagi debat sama cowok di depan kelas kita. Gue ga tau itu siapa." Kataku frustasi ketika menjelaskan tentang perihal bayangan yang tiba-tiba singgah. Sesekali aku mengacak rambut hitam panjang ku keras.

Beberapa kali itu juga mereka hanya menganggap bahwa itu bukan hal yang penting, itu hanya halusinasi semata.

Oh ayolah! tapi firasatku berkata lain, ada sesuatu hal yang akan terjadi.

"Dev, berhenti berpikir yang aneh-aneh. Itu cuma halusinasi lo doang. Lo pernah denger 'kan, kadang kalo kita mikirin sesuatu yang ga pernah terjadi secara berlebihan malah bakal jadi kenyataan? jadi stop mikirin hal begitu."

"Iya, Dev. Enggak bakal ada peristiwa apa-apa percaya deh sama kita. Lagian ada kita-kita kok yang bakal jagain lo."

"Iya, lo tuh ya bisa ga sih jangan mikirin hal yang begituan. Liat deh lo udah jarang ngurus diri. Kantung mata lo aja udah lebar gitu kayak panda."

Sarah menyodorkan kaca yang selalu dibawanya kemanapun, di sana terpantul bayangan seorang gadis berwajah putih pucat dengan kantung mata yang tebal dan melebar, benar-benar seperti panda.

Semengerikan itukah wajahku?

Aku bangkit berdiri dan keluar dari kelas Benny, kelas sebelas A5. Mengabaikan perkataan ketiga temanku. Entah mengapa aku sangat sebal pada mereka hari ini.

"Dev...." aku menghentikan langkahku sejenak ketika mendengar suara Satria memanggil. Menatapnya sekilas, memilih berlalu begitu saja dari pandangan mereka.

Aku berjalan lunglai menyusuri setiap lorong kelas. Hari itu koridor begitu sepi, wajar memang karena ini jam pulang sekolah. Aku masih bingung memikirkan siapa pelaku yang selama ini menerorku. Walaupun akhir-akhir ini pelaku tersebut jarang mengirimkan benda-benda aneh di laci maupun ke rumahku.

Tak ada pula telepon dari nomor tak dikenal. Ngomong-ngomong soal nomor yang tak dikenal itu, Satria pernah mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif. Entah keanehan apalagi yang akan menimpaku.

Peristiwa yang terjadi beberapa hari ini terasa terlalu rumit untuk dipecahkan. Tiba-tiba samar aku mendengar suara seorang gadis menjerit kencang. Kularikan langkah kaki dan bergegas menuju ruang kelas. Begitu mendekat, aku melihat seorang pria berpakaian hitam di depan kelasku sedang menatap ke lantai 1, kuikuti arah pandangnya dan aku melihat seorang gadis berambut coklat panjang tergeletak di lantai. Rambutnya kini mulai bercampur dengan warna merah darah.

Warna merah di rambut coklatnya semakin pekat. Melihat keberadaanku, lelaki berpakaian serba hitam itu segera berlari menuju tangga. Aku segera menyusul langkah kakinya, namun lebih daripada itu melihat korban menjadi salah satu tujuanku yang lebih penting. Aku semakin mendekat, kulihat seseorang yang tergeletak itu.

Suci.

Darah segar mulai mengalir membanjiri lantai berwarna putih. Di sampingnya tergeletak sebuah pulpen berwarna hitam.

"Ci, bangun! Suci bangun!" kataku parau. Tubuhku bergetar hebat. Kulihat sekeliling, mencoba mencari keberadaan seseorang berpakaian hitam yang tadi sempat berlari ke arah lantai satu. Namun aku tak menemukannya di sana.

Beberapa detik kemudian, Satria, Benny dan sarah menghampiri. Mereka ikut khawatir dengan apa yang terjadi pada Suci.

"Suci kenapa, Dev?" Benny bertanya, tampak kepanikan terlukis di wajahnya.

"Mending kita cepat bawa suci ke rumah sakit."usul Satria.

"Tapi kita butuh bantuan, Sat." Kata sarah.

NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang