Aku membenturkan kepalaku beberapa kali pada meja ruang tamu rumahku. Rasanya tak ada yang lebih sulit daripada mencari pelaku teror sekaligus pembunuhan yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Nyawa yang begitu mudahnya dihilangkan tanpa pernah berpikir betapa pedih dan hancurnya hati orang-orang terdekat mereka. Aku merutuk dalam hati, mengingat kesedihan tak terkira dari Bu Marni; istri dari pak Salim. Kini wanita itu hanya mampu meratapi nasibnya yang ditinggal oleh sang suami.
Rasanya aku sangat merindukan kehidupan normalku sebagai seorang siswi biasa yang hanya memusingkan soal-soal matematika yang tak bisa dipecahkan.
Tanpa kusadari, sebuah tangan sudah terletak begitu saja di atas meja. Mencegahku untuk kembali membenturkan kepala di atas meja.
"Kalo lu terus begitu, bukannya kasus ini yang pecah, malah kepala lu yang pecah."
Aku mendongak menatap Satria. Menatapnya dengan tatapan paling sendu yang bisa kuberikan. Rasanya aku sudah tak mampu lagi menemukan jalan keluar sekaligus mencari petunjuk atas semua teror yang terjadi.
"Terus gue harus gimana? Kepala gue rasanya mau pecah tahu. Kenapa sih kita ga bisa nemu petunjuk apapun?" aku menatap Satria dan Benny bergantian.
Saat ini kami sedang berkumpul di rumahku kembali, setelah pulang sekolah beberapa jam yang lalu. Satria sendiri baru saja sampai, karena dia harus menunggu penyelidikan. Bukan ikut melakukan penyelidikan, Satria hanya mencuri dengar dan bersembunyi mencari informasi. Sedangkan aku harus pulang terlebih dahulu bersama Benny dengan alasan keselamatan diriku.
"Ada kok. Gue nemu beberapa petunjuk yang janggal," kulihat Benny yang sejak tadi merebahkan tubuhnya tak bertenaga, kini justru bangkit dengan segera.
Satria sendiri masih menatapku dan Benny bergantian. Dia menarik nafas pelan lalu kembali melanjutkan, "Ternyata, ga ada sidik jari satupun yang ditemukan di TKP. Lalu, menurut para ahli, Pak Salim itu mati karena sayatan di pergelangan tangannya. Pisau yang kita lihat itu jadi alat buat membunuh. Ada beberapa lupa juga di beberapa bagian tubuh Pak Salim, seperti di wajah dan di bagian bisep tangannya. Itu tandanya Pak Salim sempat berontak dan melawan pembunuhnya.""Bentar, kok bisa sih ga ada sidik jari sedikit pun? Tapi menurutmu aneh ga sih? Barang buktinya ga diilangin gitu aja. Kalau dia teliti, harusnya pisau belati itu dibuang atau disimpan aja engga sih?"
Detik itu juga, Satria menggeleng cepat, "Nggak juga sih. Menurut gue pembunuhnya pinter loh, dia meninggalkan barang bukti, karena, ya, pisau belati itu pisau belati biasa, Dev. Justru kalau di simpan atau di buang di sembarang tempat bisa membahayakan identitas dia. Dia ga seceroboh itu, Dev. Buktinya, di sana bersih ga ada sidik jari atau petunjuk apapun." Sangkal Satri langsung pada pendapatku. Aku dan Benny hanya mampu mengangguk mengiyakan pendapat satria.
"Kalau gitu, semakin sulit dong buat kita nemuin pelakunya? Yang gue bingung, ngapain Pak Salim nulis notes peringatan buat Devlin?" kali ini Benny yang mengungkapkan pendapatnya.
Seketika itu kami berdua langsung teringat akan notes yang ditemukan di kantong baju Pak Salim, saat Satria pertama kali menemukan jasad lelaki paruh baya itu. Sebuah notes yang ditemukan di saku baju lelaki itu menunjukkan bahwa dia tahu dalang dari semua peristiwa yang menerpa diriku.
Aku segera bangkit setelah mendengar penuturan Benny dan langsung mengambil kertas lusuh dengan bercak merah kehitaman yang sudah mengering di beberapa bagiannya.
Sepersekian detik berikutnya, dapat kucium bau amis di sana. Kuletakkan kertas itu kembali pada meja di hadapan kami. Kami bertiga hanya mampu menatap penuh tanya pada kertas tak bernyawa. Seolah berharap benda mati itu bisa hidup dan berbicara mengenai semua misteri menyangkut kematian Pak Salim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare
Mystery / Thriller"Gue mimpi buruk lagi. Lo tahu, kan, setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi?" Bisakah kau bayangkan rasanya menjadi Devlin?! Ibunya meregang nyawa tepat di depan matanya. Sayangnya, dia tak pernah mendapatk...