Si Berandal Sekolah

7 1 0
                                    


Terbangun dengan perasaan was-was, aku berjalan hati-hati menuju ke sekolah. Setelah bermimpi buruk, aku tak bisa tidur semalaman, dari jam dua belas malam aku terjaga hingga pagi. Menyebalkan memang, tapi aku takut jika mimpi itu kembali menghantui tidurku.

Pagi itu kelas masih begitu sepi, hanya terlihat Satria yang entah mengapa tiba-tiba dia begitu rajin. Dia sedang membaca sebuah buku Biologi dengan serius. Aku melangkahkan kaki pelan, menghampirinya.

"Tumben amat lu belajar, biasanya juga dateng-dateng langsung tidur di kelas." Dia tersenyum sekilas. Lalu kembali membaca buku.

"Sat, ada yang mau gue ceritain sama loe,"

Satria menatapku, fokusnya langsung beralih padaku. Pelan dia berkata "Apa?"

Aku menghela nafas dalam, kuharap satria mampu menenangkanku dengan kata-kata bijaknya itu. "Gue mimpi buruk lagi. Lo tahu 'kan? Setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi. Bahkan lebih parah lagi kadang mimpi-mimpi gue jadi nyata. Sat, gue mesti ngapain?" kataku frustasi.

Aku benar-benar frustasi. Mungkin kalian akan menganggapku terlalu berlebihan. Tapi sungguh. Aku sudah beberapa kali mengalami hal ini, dulu sebelum Ibuku meninggal, aku selalu bermimpi tentang seorang wanita paruh baya yang terkapar lemah di sebuah jalan kecil kompleks rumahku.

Aku tak mengenali siapa wanita itu, hingga beberapa hari setelahnya aku bermimpi kembali, di dalam mimpiku, tubuh Ibuku lah yang sedang tergeletak lemah tersebut. Beberapa minggu kemudian, peristiwa tabrak lari itu menjadi kenyataan, sama persis dengan apa yang aku impikan.

Deja vu?!

Bukan, itu bukan Deja vu, tapi precognitive dream. Aku sering mengalami precognitive dream. Menurut psikolog, Deja vu dan precognitive dream jelas berbeda, Deja vu hanyalah perasaan seolah-olah kita pernah mengalami suatu peristiwa yang nyatanya baru kita alami. Tapi, precognitive dream yaitu salah satu mimpi kita yang menjadi kenyataan, kita ingat pernah memimpikan suatu hal dan tanpa kita duga mimpi itu menjadi kenyataan. Coba bayangkan bagaimana menderitanya aku mengalami hal tersebut?

Satria menyentuh lembut pundakku. Membuatku tersadar akan prasangka dan ketakutanku yang semakin liar membayangi pikiran. "Tenang aja, itu cuma mimpi. Percaya sama gue! Gue bakal jagain lu!"

Tak ada sedikitpun kebohongan dari apa yang kudengar barusan. Tulus. Begitu tulus aku mendengarnya, tatapannya pun syarat akan ketulusan. Aku hanya mengangguk lemah. Setidaknya rasa takut ini berkurang setelah aku menceritakan nya.

***

Pak Bara menatapku lekat dan penuh arti. Beberapa kali dia menatapku dan kertas biodataku secara bergantian, dahinya berkerut beberapa kali. Entah apa yang sedang dia pikirkan.

"Feriawan. Jadi Ayahmu bernama Feriawan dan Ibumu bernama Natasha. Nama yang indah, perpaduan antara kedua orang tua. Siapa yang memberimu nama itu?"

"Ibuku, dia yang memberikan nama Devlin. Devlin itu artinya berani. Dia ingin anaknya menjadi gadis yang pemberani, Ayahku lah yang mengusulkan perpaduan antara nama kedua orang tuaku." Aku menjelaskan dengan seksama pada Pak Bara, baru kali ini ada seseorang yang merasa penasaran akan namaku. Aku melihatnya mengangguk pelan dan sebuah senyum penuh arti kembali terbingkai di wajahnya yang kini berusia tiga puluhan tahun itu.

"Oke, terimakasih atas penjelasanmu, nama yang menarik. Tolong katakan pada Suci untuk segera menyerahkan biodatanya, karena hanya dia yang belum mengumpulkan biodata untuk keanggotaan mading. Untuk kamu, Devlin. Jangan lupa dengan tugasmu sebagai ketua mading untuk hadir pada rapat minggu depan!" aku mengangguk pelan, setelah itu berlalu pergi dari hadapannya. Banyak keanehan yang aku rasakan pada Pak Bara.

NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang