Part 3

207 34 5
                                    

Cicitan burung gereja menambah syahdu suasana pagi ini, embun yang menetes di pucuk daun akasia membuat nuansa menjadi semakin nyaman untuk kembali bergulung dalam selimut.

Zhan terlihat tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke kantor. Lagi-lagi Zhan dan etos kerjanya yang tinggi membuatnya tetap memaksa tubuh malasnya itu bangkit dan bersiap.

Setelan kemeja berwarna biru muda membungkusnya rapi dengan dasi bercorak garis berwarna abu-abu. Rasa malas mengkhianati penampilannya yang tampak begitu siap untuk bekerja. Sungguh bila dia boleh memilih, lebih baik Zhan diam di rumah dan menghabiskan waktu untuk memanjakan dirinya sendiri. Perasaannya beberapa hari belakangan juga sedang naik-turun membuat mood-nya jelek.

Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaan tetaplah pekerjaan, dia harus tetap menjadi professional, 'kan. Bukankah ini adalah pilihan yang dirinya ambil saat itu. Jadi, dirinya juga harus siap dengan semua konsekuensinya.

Zhan menuruni anak tangga sambil menyingsingkan lengan kemejanya, wajahnya lesu benar-benar tidak bersemangat. Di ruang makan terlihat sang ayah sedang menikmati secangkir kopi ditemani koran pagi, sembari menunggu istrinya yang masih sedang menyiapkan meja untuk sarapan.

"Pagi, Ayah, Ibu," sapa Zhan, kemudian ikut membantu sang ibu untuk membawakan sup dan dengan cekatan menatanya di atas meja makan.

"Pagi sayang, apa hari ini ada yang penting? Tumben sekali kamu memakai pakaian formal?" tanya sang ibu yang tidak biasa melihat sang putra memakai pakaian yang cukup formal saat dirinya bekerja.

"A Cheng selalu saja bisa membuat senin pagiku menyebalkan, pagi-pagi sekali dia sudah menelepon, dan bilang kalau hari ini akan ada rapat, hah," gerutu Zhan di depan kedua orang tuanya. "Tidak bisakah, saat hari senin dia tidak mengganggu dengan jadwal rapat mendadak?" tanyanya lebih pada pria yang sudah menjadi teman juga bos yang tidak ada di sana.

"Sayang," ucap sang ibu sambil mengusap lembut surai hitam putranya. "Jiacheng adalah bos mu, kau sendiri yang memilih untuk bekerja di sana bersamanya, katamu bukankah ... kapan lagi bisa bekerja dengan teman sendiri," lanjut sang ibu yang semakin membuat Zhan menekuk wajahnya.

"Atau, kau mau berangkat ke kantor ayah saja, hmm?" sela sang ayah, menambah lipatan di dahi Zhan. Sementara sang ibu hanya tersenyum melihat tingkah sang suami yang sangat senang menggoda putranya itu.

"Selamat makan!" seru Zhan, dan hanya dibalas anggukan kepala dari kedua orang tuanya. Sarapan berjalan khidmat sampai semua makanan yang ada di piring masing-masing bersih.

"Kau yakin akan tetap berangkat ke kantor dan ikut rapat? Tidak mau ikut ayah saja?" masih, sang ayah meledeknya.

"Lebih baik aku berangkat sekarang, orang tua satu ini bisa-bisa menyeretku untuk ikut dengannya, Yang Mulia Ratu, putramu mohon pamit," ucap Zhan mendramatisir keadaan sambil berlalu, tak lupa mengecup pipi sang ibu.

"Kau belum menghabiskan susunya, sayang," protes sang ibu yang melihat gelas sang putra masih tersisa setengah.

"Aku sudah kenyang, Bu, terima kasih. I love you," balas Zhan yang sudah berada di ambang pintu hendak memakai sepatunya.

"Dasar anak itu, kau juga ... bagaimana bisa selalu menggoda putramu sendiri? Sudah tahu dia tidak ingin bekerja di kantormu, kau juga sudah setuju, suamiku," omel sang nyonya rumah pada suaminya.

"Laopo, kau tahu aku hanya meledeknya saja, 'kan? Dia terlalu lucu kalau sedang merasa terintimidasi dengan urusan kantor kita. Kau juga suka melakukannya. Aku menyayanginya, kau tau itu, sayang," balas sang kepala keluarga, sambil mengusap lembut tangan istrinya.

"Putra kita sudah dewasa, tapi dia tetaplah putra kecilku, benar 'kan laogong ?" lanjut Nyonya Xiao sambil menatap manik hitam milik belahan jiwanya.

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang