BAB 8 ~ Blood

2.2K 60 2
                                    

Beberapa saat setelah Ara meninggalkan kantor Aksa, wanita itu duduk di kursi halte, melihat sekeliling dengan pandangan kosong yang mencerminkan kehilangan arah pikirannya.

Udara seakan-akan menjadi hampa, dan ekspresi wajahnya mencerminkan ketidakpastian yang mendalam. Seolah-olah, pikirannya melayang ke tempat yang jauh, abstrak, dan sulit dijangkau oleh realitas sekitarnya.

Namun tanpa terduga, perut Ara tiba-tiba mulai terasa sakit. Raut wajahnya yang sebelumnya kosong kini berubah menjadi kerut kesakitan.

Ara memegang perutnya dengan erat, mencoba meredakan rasa nyeri yang semakin menggelayuti setiap serat tubuhnya. Detik demi detik, rasa sakit itu menjadi semakin tak tertahankan.

Dalam usahanya mencari keseimbangan dan penenangan, Ara merenung sejenak. Dia tahu harus segera mencari pertolongan atau tempat untuk meredakan rasa sakit yang menderanya.

Dengan langkah yang terseok-seok sambil menahan sakit, Ara memutuskan untuk menuju kamar mandi umum terdekat, berharap bisa menemukan tempat yang nyaman untuk meredakan ketidaknyamanan yang terus-menerus merayap di perutnya.

Sesampainya di kamar mandi umum, Ara merasa sesuatu keluar dari area vitalnya. Tiba-tiba, perasaan cemas memenuhi pikirannya.

Dengan hati berdebar, dia memeriksa apa yang terjadi. Terkejut dan ketakutan mencengkam hatinya ketika menemukan flek yang memenuhi celana dalamnya. Mata Ara membesar, mencerminkan ketidakpercayaan akan apa yang kini tengah dia alami.

Panik, Ara segera mengambil ponselnya dan menelepon Rea, temannya yang selama ini menjadi tempat berteduh ketika situasi sulit menerpanya. Suara Ara terdengar lirih, mencerminkan keadaan ketidakpastian dan ketakutan.

"Halo?"

"Rea...." ucap Ara, suaranya lirih dan terdengar penuh rasa sakit.

"Ara? Ada apa dengan suaramu?"

"Bisakah kau menjemputku?"

"Baik, tapi jelaskan dulu apa yang terjadi."

"Darah...."

"Apa? Darah?"

"Ada darah yang keluar dari bawah... perutku sangat sakit...."

"Tunggu di sana, jangan bergerak terlalu banyak, mengerti?"

"Iyaa...."

"Aku akan segera ke sana, pastikan untuk tetap mengaktifkan lokasi pada ponselmu."

"Iyaa...."

Ara menutup teleponnya, memastikan bahwa lokasi pada ponselnya masih terdeteksi untuk memudahkan Rea menemukannya. Sambil menunggu bantuan datang, Ara berusaha menahan rasa sakit dan ketakutannya dengan menutup mata.

Tangannya masih memeluk perutnya, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang terus-menerus datang. Rasa takut akan nasib kandungannya mulai menyusup, dan keputusasaan tergambar jelas di wajahnya.

Dia pun berusaha menenangkan diri dengan menutup matanya. Tangannya masih setia mengusap perutnya berharap rasa sakit dapat berkurang. Dia mulai takut akan terjadi sesuatu hal yang buruk terhadap kandungannya.

🍁🍁🍁

Di sisi lain Rea langsung berlari keluar dari ruangannya. Wajahnya mulai terlihat kalut. Dia benar benar mengkhawatirkan keadaan Ara yang dalam kondisi sedang mengandung.

"Gavin! Gavin!" Rea memanggil asistennya, Gavin, yang langsung menghampirinya dengan langkah cepat.

"Rea, ada apa?"

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang