Part 12

643 41 0
                                    

Pastikan sebelum baca part ini kalian sudah sholat. Jangan sampai lalai ya sholatnya! Okee, happy reading ya!

Hari telah berganti menjadi bulan. Tak terasa sudah tiga bulan berlalu Lira menjadi santri di Pondok Pesantren Darussalam. Bertambahnya hari, Lira semakin akrab dengan teman-teman barunya. Meskipun terkadang ia membuat Nova, Melani, dan Maulina geleng-geleng kepala dengan tingkahnya. Tidak hanya itu, gadis dengan ciri khas kerudung berantakan itu juga semakin dekat dengan Ustadzah Habibah. Terkadang ketika Lira kesal, ia akan memanggilnya dengan sebutan kakak.

Hari ini tepat hari Jum'at. Dimana santri serta santriwati PP Darussalam diperbolehkan untuk berbelanja di luar lingkup pesantren. Momen yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh santri. Terutama oleh keempat gadis yang telah menjadi sahabat. Keempat orang itu berniat pergi ke pasar untuk berbelanja baju, makanan ringan, serta barang-barang lain yang mereka inginkan. Keempat gadis itu keluar melewati gerbang dengan berjalan kaki.

"Lira, kira-kira kamu nanti mau beli apa disana?" Tanya Nova?

"Gak tau, kayanya mau beli sepatu gue. Lo sendiri mau beli apa aja?"

"Aku mau beli gamis baru. Terus, aku juga mau beliin kalian gelang persahabatan. Kalian mau gak?" Ucap Nova antusias.

"Alhamdulillah, mau banget Mbak Nova!" Jawab Maulina tak kalah antusias.

"Aku juga mau kok, Nov."

Nova mengangguk senang, keempat gadis itu kembali melanjutkan perjalanan menuju pasar. Diantara keempatnya, Melani lah yang paling diam sedari tadi. Padahal biasanya, ia tak kalah hebohnya dengan Nova. Maulina yang paling pendiam dari keempat gadis itu pun terlihat lebih banyak bicara dari Melani. Pikiran gadis itu melayang, memikirkan percakapan tiga orang laki-laki yang sempat didengarnya tadi.

Flashback on.

Melani berdiri di samping tembok pembatas. Saat dirinya ingin pergi membuang sampah, tak sengaja Melani mendengar percakapan antara Gus Ikhwan dan para sahabatnya.

"Saya sudah bilang ke Abah sama Umi untuk melamar Ustadzah Habibah."

"Lalu tanggapan mereka gimana, Gus?" Tanya Malik.

"Yaa, gitu lah Lik. Tapi nunggu Bapaknya Ustadzah Habibah pulang, baru saya lamar."

"Kenapa ndak telepon saja?" Kini Hakim yang bertanya.

"Abah sudah mengabari Bapaknya Ustadzah Habibah. Tapi sepertinya Ustadzah Habibah belum tahu," jawabnya.

Melani tetap diam mendengarkan percakapan tiga orang yang tak nampak wujudnya.

"Tapi saya kok malah kasihan sama santri uayu yang ngejar-ngejar sampean ya, Gus!" Perkataan Malik membuat Melani memasang telinganya lebar-lebar.

"Siapa? Temannya Nova itu toh?!" Sahut Hakim.

"Iya, Kim. Dia kaya suka banget sama Gus Ikhwan. Anaknya kayanya baik, cuma ya kurang bimbingan saja."

Hakim terkekeh mendengar ucapan sahabatnya, "kamu mau membimbingnya, Lik?"

"Heh, ngawur saja kamu! Saya tetap mencintai Ning Zainab ya!"

Hakim tertawa tanpa membalas ucapan Malik. Sedangkan Gus Ikhwan diam tanpa memperhatikan kedua sahabatnya. Setelah tawa Hakim mereda, Malik kembali berkata,

"Kamu bilangin pacar kamu, Kim! Suruh dia jauhin Gus Ikhwan. Nanti pas tahu kenyataannya kan sakit."

"Lah, saya sama Nova sekarang kan gak berani surat-suratan lagi. Kamu tahu sendiri kan, gimana malunya saya sama Nova pas dita'zir?!" Tutur Hakim dengan nada kesal.

HIJRAH CINTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang