TUJUH tahun telah berlalu. Rumah sewa berpagar hitam dengan pekarangan yang dipenuhi tanaman hijau kini sedang kedatangan tamu yang belum disambut selayaknya raja oleh tuan rumah sejak mobil sedan hitam mendarat di sana. Beberapa tetangga yang sejak tadi pulang dari masjid merasa iba ketika masih melihat ibu-ibu paruh baya itu tetap setia mengetuk pintu dan mondar mandir di halaman rumah berpagar hitam tetangganya, padahal waktu sudah berlalu hampir satu jam lebih, tapi detik kemudian mereka malah dibuat risi dengan apa yang tamu tetangga mereka itu lakukan.
“Amel!.. Amel!.. Amel!..” Panggilan lembut kini berganti teriakan diselingi gedoran pintu diluar rumah bercat putih tulang.
Kedua kelopak mata seseorang dari bawah selimut bergambar puluhan karakter kodok hijau terasa berat untuk terbuka, tapi sayup-sayup ia dengar gedoran pintu dari luar rumahnya semakin menjadi-jadi.
Wanita muda yang tengah terlelap di atas sofa panjang itu mengumpat dalam hati, menyumpahi siapapun yang mengganggu tidurnya. Berani sekali mereka mengusik ketenangan ratu malang melut sepagi ini, bahkan matahari pun belum berani keluar dari peradabannya sebelum jarum jam menyentuh angka enam.
Susah payah ia memaksa kedua matanya untuk terbuka, menegakkan badan, dan menengok ke sekeliling ruang tengah.
Tidak ada siapapun!
Hanya ada tv yang masih menyala.
Kemana kak Fitri? Dengan gerakan canggung ia meraih remote hitam di bawah bantal dan mematikan tayangan televisi membosankan di pagi ini.
“Kak Fitri..” Parau. Amel memanggil sepupunya, dengan memeluk erat kedua sisi selimut demi melindungi tubuh dari udara fajar yang dingin. Rasanya masih enggan mengumpulkan nyawa secepat ini, dengan keputusan yang bijak itu Amel pun mempertahankan tekadnya untuk tetap menjatuhkan kembali tubuhnya masuk ke dalam kehangatan sofa sambil bergumam memanggil nama sepupunya: Fitri, dengan volume yang perlahan semakin mengecil.
Dengan hentakan keras, pintu rumah terbuka dari luar dan masuk dua orang secara bersamaan, namun jiwa-jiwa Amel sudah mulai terpisah dari raga seiring mata besarnya ikut tertutup.
“AMEELL!!” suara dari seorang wanita melengking hebat sampai hinggap ke rumah tetangga.
Secepat kilat Amel, sang empu rumah membuka kedua matanya dengan kondisi jantung yang seakan seperti disambar petir, kepalanya seketika linglung bagai orang kurang darah.
“Jam segini masih tidur kau ya!! Bagussss..”
Melihat itu, Fitri hanya menggeleng dan tertawa kecil, berjalan memasuki dapur dan menyusun sayuran yang baru saja ia beli untuk di awetkan ke dalam kulkas.
“Jadi tiap hari masih begini tingkahnya pit? Gak kau bangunkan adikmu!”
“Sudah Mak.. tapi emang susah bangun si Amel, habis subuh tadi nonton tv dia, gak lama langsung jadi mayat bernafas di sana..” terang Fitri dari dapur diiringi dengan suara dentingan pecah bela.
“Begadang kau kan semalam?” tanya Bu Maryam dengan sorot mata membunuh, penuh intimidasi.
“Kerja aku Buuaahh..” jawaban Amel beriringan dengan kebiasaan buruknya, menguap lebar tanpa memperdulikan orang-orang disekitar merasa risih dengan bau busuk dari gigi bolong gerahamnya.
Untung Bu Maryam sudah hafal dengan tingkah si betina ini, sebelum bau itu tercium, jarinya sudah lebih dulu menjepit kedua lobang hidung lancipnya.
“Kapan kau mau berubah Amel? Maumu juga apa? kerja atau kuliah!” suara Maryam dimulai dengan oktaf rendah sampai agak meninggi. Wajahnya tegang dengan kedua alis yang berkerut; tanda marah. Dari awal beliau tak pernah suka dengan pekerjaan yang Amel dilakoni, yang menurutnya sama sekali tidak menjanjikan masa depan cerah seperti bayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tipuan Hati
RomanceNick, bukanlah penipu hati yang ulung dalam memainkan perannya, dan begitupun Amel, bukanlah perempuan tangguh yang mampu menentang segala apapun walau tahu ini akan menyakitinya. *** Ini bukan kisah seseorang yang lemah, tapi ini kisah tentang Amel...