MOTOR bebek yang dikendarai pria paruh baya dengan jaket ijo kebanggaannya alias pak Sudarjo tetangga rumah Amel berhenti di area pekarangan depan kampus USEP atau Universitas Swasta Erlangga Putra, tempat Amel melanjutkan pendidikan perguruan tinggi setelah tiga tahun lebih melewati antara hidup dan mati.
“Berapa pak?” tanya Amel sekedar basa basi, yang sebenarnya sudah hafal berapa harga yang mesti dibayar.
“Biasa dek..” jawab pak Sudarjo yang juga itu-itu saja, diakhiri dengan batuk tak berdahak, lebih mirip seperti deheman.
Setelah mengucapkan terima kasih dan berbagai macam sapaan, motor bebek pak Sudarjo berlalu meninggalkan pekarangan kampus, dan begitu pula Amel yang perlahan berjalan memasuki gerbang kampus USEP.
Pukul delapan pagi, kampus sudah ramai. Mahasiswa- mahasiswi lama dan baru sudah berbondong-bondong memenuhi sekeliling area kampus. Mereka bergerombolan di beberapa sudut membentuk kelompok-kelompok yang terkadang membedakan kelas sosial masing-masing.
Di ujung kampus, beberapa meja dan bangku panjang sengaja diletakkan di bawah rimbunnya pohon Trembesi, yang mungkin sudah berumur lebih dari lima puluh tahunan. Dengan memiliki bentuk mahkota yang menyerupai payung lebar; pohon itu mampu menangkal paparan sinar matahari untuk setiap orang yang berteduh di bawahnya. Tempat itu adalah tempat favorit bagi anak semester akhir seperti Amel, kutu buku dan para penggila game lainnya.
Amel berjalan mendekati sisi pohon untuk sekedar duduk seraya mengecek tugasnya kembali sebelum bertemu dosen nanti. Taman ini sudah hampir dipenuhi oleh beberapa kelompok dan individu baik di bangku maupun di rerumputan kering di bawah pohon, dan letaknya pun sangat strategis dan jauh dari keramaian, tidak seperti kantin kampus yang selalu ramai dan berisik, walau dekat dengan cafe kopi pinggir jalan tetapi tetap tidak berpengaruh banyak. Sebenarnya taman ini adalah hutan di kampus, namun tumbuhan di sana tidak serimbun hutan pada umumnya, melainkan lebih mirip seperti taman yang tak berbunga.
Fajar semakin berkilau dan menghangat. Amel menghembus nafas berlebih saat notif pesan dari nomor yang tidak asing terpampang di layar ponselnya. Bapak. Pria keturunan Jawa Inggris yang Amel panggil dengan sebutan bapak itu kerap kali menghubungi anaknya di waktu-waktu tertentu, dan kadang meminta untuk bertemu di jam dan hari yang bentrok dengan jadwal padat Amel.
'kamu lagi dimana dek?' pesan dari pak Ali Foster, ayah kandung Amel yang hanya dijawab seperlunya oleh sang anak.
'Dikampus, kenapa pak?'
'Bisa ketemu bapak gak besok sore?'
'Kayaknya gak bisa deh, aku lagi sibuk banget, dan besok pagi juga harus pulang ke kampung ibu, ada nikahan bang Adi.'
'Jadi kapan sempatnya?'
'Lusa aja ya pak. Emangnya bapak lagi dimana?'
'Bapak lagi di studio. Tadi orang dari galeri bilang ke bapak ada yang mau pesan lukisan, tapi kerjaan bapak lagi banyak benget dan bapak langsung inget kamu.. makanya bapak mau ketemu, siapa tahu kamu bisa bantu bapak.. mau kan?'
Mengangkat satu tangan untuk menyanggah dagu, Amel membaca ulang obrolan singkatnya dengan bapak. Kali ini ia harus menimbang-nimbang ajakan itu, karena semakin hari jadwal Amel semakin padat dan ia tidak bisa begitu saja menyetujui ajakan Bapak, walaupun bapak pasti akan memberikan beberapa persen dari hasil penjualan lukisan, tetapi bukan itu prioritasnya, ia suka saat membantu Bapak karena rasa yang ia peroleh dari hasil pekerjaannya itu tak ada tandingannya sampai saat ini. Rasa bangga dan kepercayaan diri selalu membuat Amel semakin mencintai seni, apalagi saat melihat karya tangannya sendiri dihargai orang lain.
“AMEL!!” Melengking, nadanya jauh dari sempurna, sebelas dua belas mirip seperti milik Bu Maryam, ibunya.
Tanpa sadar Amel mengumpat karena terkejut dengan teriakan itu. Agak malas memutar kepala kesana kemari mencari sumber suara dan mendapati dari jauh seorang gadis bertubuh mungil, yang tidak jauh berbeda dengan ukuran tubuhnya— anak itu mengangkat tangan kanan dan melambai-lambai dengan amat bersemangat, bahkan terlalu bersemangat sampai meloncat loncat seperti anak Tk yang habis dibelikan anak ayam warna warni. Gadis itu juga meneriaki nama Amel dengan suara— yang terdengar tidak jauh lebih indah dari cicit-cicit ayam miliknya dulu yang pernah dibelikan bu Maryam agar ia rajin mandi. Agak aneh, tapi memang begitulah tingkah kecil Amel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tipuan Hati
RomantikNick, bukanlah penipu hati yang ulung dalam memainkan perannya, dan begitupun Amel, bukanlah perempuan tangguh yang mampu menentang segala apapun walau tahu ini akan menyakitinya. *** Ini bukan kisah seseorang yang lemah, tapi ini kisah tentang Amel...