SUPER INFINITE GAME, tertulis di depan gedung tinggi berlantai lebih dari lima puluh yang seluruhnya hampir dibalut dinding kaca. Di dalam gedung, lantai teratas terdapat ruangan khusus yang penuh dengan buku-buku dan pajangan penghargaan, berbentuk sertifikat maupun trofi, semua tertata rapi di beberapa penjuru. Ruangan itu sunyi hanya diisi satu orang pemuda.. bukan! Dia bukan lagi pemuda, melainkan pria dewasa berusia matang; sibuk dengan aktivitas mengecek, mengetik, membaca, mencoret dan membuat beberapa grafik yang hanya ia pahami sendiri, terkadang juga membentak ketika bicara melalui sambungan telepon serta pada siapapun yang menyetor tumpukan kertas putih yang sudah ditata sedemikian rupa sebelum diserahkan padanya.Nicholas Luther Carter, pria tiga puluh delapan tahun yang sering disapa Nick; sedang mengekang diri sendiri untuk memikirkan segala hal yang mampu menuntaskan permasalahannya. Sudah berbulan bulan lebih Nick bekerja lebih giat dari yang ia sadari. Waktu yang di lewati seakan tak cukup untuk menyelesaikan satu permasalahan setiap harinya, ia butuh lebih dari dua puluh empat jam, bila perlu ratusan tanpa mengurangi kualitas kesehatannya.
Ini semua terjadi sejak sistem perusahaan sengaja dirusak dan dikacaukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, membuat SIG harus menanggung kerugian yang amat besar karena kehilangan data serta konsep rancangan terbaru yang akan segera mereka luncurkan, dan saat akan memulai dari awal, satu-satunya investor yang mereka miliki memutuskan mundur begitu saja karena menganggap Super Infinite Games lalai dan sudah terlalu lama berdiri dengan konsep yang sama dan sampai detik ini masih tidak ada inovasi terbaru.
Hal itu membuat SIG atau Super Infinite Games dilanda krisis finansial, hingga Nick harus menghabiskan jutaan dolar bahkan sampai miliaran untuk mengembangkan konsep baru serta untuk menutupi hutang dan kerugian-kerugian dari implementasi pengembangan yang pernah ia lakukan.
Waktu terus berjalan, matahari perlahan naik ke atas bertengger sampai ke titik tengah, menyebarkan lebih dari 30 derajat celcius membuat bumi semakin terasa panas. Dua belas tiga puluh adalah jam makan siang kantor. Semua karyawan menyebar mencari tempat untuk sekedar melampiaskan penat dan memakan apa yang bisa menggantikan tenaga mereka, namun Nick, tak punya waktu untuk sekedar berpikir jika ia masih sebatas manusia yang butuh istirahat dan makan.
Sampai benda berukuran 6,1 Inch di atas meja kerjanya bergetar tanpa bunyi. Tangan Nick terulur walau mata tetap melekat pada berkas menumpuk di tangan, dan menarik ikon hijau di layar begitu saja.
"Hallo.."
"Nick, jangan sampai lupa jemput Julia, aku sama Rey baru sampai di hotel, tolong jangan sampai telat ya.. aku takut nanti ada yang culik anakku."
Nick mengernyit, menarik ponsel, menatap layarnya. Elisa cantik. Itu nama kakak perempuan Nick yang ditulis oleh pemilik nomor itu sendiri.
"Kalian terlalu manjain dia.. Julia itu udah gede, harusnya sudah bisa bawa mobil sendiri."
"Ya udah, tapi kamu ya yang tanggung kerugiannya!"
Nick berdecak. Benar juga kata kakaknya, tempo hari Julia pernah mencoba mengendarai kuda besinya namun baru saja lima meter keluar dari gerbang rumah Nick- mobil yang dikendarai Julia sudah berasap dari kap depan karena menabrak gerobak bakso yang berdiri di samping tiang listrik. Syukurnya Julia tidak mengalami luka-luka walau dompetnya yang harus terluka, bukan hanya sekedar mengganti kerugian Abang bakso tapi juga perbaikan tiang listrik yang sempat konslet.
"Tapi jangan buat orang lain repot juga kak.. itu kan anakmu, tanggung jawabmu! kenapa jadi aku yang repot."Wanita dari seberang sana berdecak. "Aiss, bujang tua sepertimu mana tahu rasanya punya anak gadis. Makanya cepat cari calon istri, biar tau rasanya.."
Nick ikut berdecak lagu, memang apa rasanya? Lagipula apa hubungannya sama menikah? Apa dengan pernikahan dan memiliki anak gadis bebannya juga akan menjadi lebih ringan? Nick rasa tidak juga, malah mungkin bertambah. Ada-ada saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tipuan Hati
RomanceNick, bukanlah penipu hati yang ulung dalam memainkan perannya, dan begitupun Amel, bukanlah perempuan tangguh yang mampu menentang segala apapun walau tahu ini akan menyakitinya. *** Ini bukan kisah seseorang yang lemah, tapi ini kisah tentang Amel...