MOBIL terjebak di kepadatan jalan, hingga kuda besi yang menampung tiga orang didalamnya tidak bisa melaju lebih kencang dari sebelumnya. Ini sangat- sangat lambat dan membosankan. Mengisi waktu kosong itu, Amel mengeluarkan tablet Sumsang berukuran 10 inch dari dalam tasnya. Membuka aplikasi gambar, Ia mulai menggerakkan pen tablet untuk menarik garis dan lengkungan, menyusun mereka semua semirip mungkin seperti ilustrasi dalam imajinasinya. Membentuk beberapa pola-pola tertentu. Sangat rapi dan ahli, hingga semua elemen membentuk suatu objek yang indah.
Sedangkan Julia sudah tertidur pulas, kepalanya bersandar di bahu Amel dengan mulut yang terbuka, pemandangan ini sangat tidak anggun dan sesekali ia menggaruk pipinya yang terasa gatal. Amel tak peduli. Ia masih asyik dengan aktivitasnya.
Nick menghela nafas kasar. Harusnya tadi ia meminta Ben saja menjemput Julia jika tahu akan menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan. Nick melirik kaca spion dalam, melihat pantulan Julia dan Amel. Mendapati keadaan Julia yang seperti itu membuat Nick teringat dengan tingkah laku Elisa dulu, Ibu dan anak sama saja, kemudian matanya beralih pada sosok anggun di samping Julia, Ia merasa tak asing dengan wajah kawan Julia yang satu ini. Mereka seperti pernah bertemu, tapi di mana? Nick sendiri ragu dengan pemikiran itu.
“Gimana Julia di kampus?” Suara Nick jelas seperti gumaman besar yang terarah pada Amel.
Ya memangnya siapa lagi di sana selain perempuan itu, satu-satunya makhluk yang masih berpotensi menjadi lawan bicara.
Mella mendongak sedikit melirik bangku kemudi, kemudian kembali menunduk menatap layar tablet. “Baik. Julia.. anak yang baik!” Menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari tablet, karena Amel merasa perbincangan ini akan cepat berakhir.
Namun seperti Nic tak membiarkan itu terjadi. “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” Perlahan ia menoleh ke belakang memamerkan wajah blasteran yang dimilikinya pada Amel di saat mobil sudah berhenti di persimpangan lampu merah.
Amel merasakan pergerakan itu, ia mendongak, dan seketika tanpa paksaan, ia tersenyum. “Saya rasa tidak..” ucapnya tanpa melepaskan pandangan dari Nick.
“ Begitu ya.. ” Nick pun ikut tersenyum dan bergeming beberapa saat sebelum membalik tubuh pada posisi semula.
Dari kaca tengah, Nick melirik ke arah Amel kembali, melihat wajah itu yang juga kembali menunduk, fokus melakukan sesuatu di layar tabletnya. Nick tertarik untuk tahu. Mendorong kaca agar lebih condong ke belakang, dan menyamakan posisi agar lebih fokus terarah pada Amel.
Gerakan tangan Amel tampak tak asing, perempuan itu seperti sedang menggambar sesuatu dengan amat serius. Nick terpancing untuk kembali membuka percakapan. “Suka gambar?”
Dan Amel lagi-lagi mendongak walaupun hal itu tidak perlu dilakukan. “ Ya. hobi aja.”
“Sejak kapan?”
Perlahan pergerakan Amel kembali melambat. Pertanyaan itu berpatok pada hal yang formal, tapi Amel menyerap lebih dalam, ia juga bertanya pada dirinya sendiri, sejak kapan ia menyukai sesuatu yang berbau seni seperti bakat ayahnya, padahal takdir sudah terlalu lama memasang jarak di antara mereka dan harusnya Amel mengikuti jejak ibunya, sebagai wanita karir yang mencintai hal yang realistis.
“Mungkin dari sejak kecil.” ujar Amel sambil mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil.
Nick mengangguk-angguk dengan mulut terbuka membentuk huruf 'O. “Ambil jurusan seni?”
“Bukan, saya ambil hukum..” Amel tersenyum geli menyebutkan fakta itu. Keinginan ibunya sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi keinginannya di masa depan nanti.
Tiba-tiba sesuatu yang lembut dan halus terasa menggenggam tangannya dengan amat kuat. Amel menoleh ke samping, Julia sudah menegakkan kepala dengan raut risau.“Mau pipis..” erangnya saat menoleh pada Amel.
Beralih menatap kursi kemudi, Julia berseru gusar, “Om, berhenti dulu.. aku mau ke kamar mandi.” badan gadis itu meliuk-liukkan seperti cacing kepanasan.
“Kenapa, pup?”
“ Aagg.. itulah— terserah, cepetan, berhenti di mana aja om! ” Wajahnya sudah berkeringat dingin, dan genggaman pada Amel pun semakin erat.
“ Sabar, disana ada Absenmart, ” ujar Nick saat mengingat ada minimarket di dekat area tak jauh dari lampu merah dekat mereka.
“ Go, om goo.. aduh, aduh aduh aduh.. ssttt. ” Julia meringis menahan mati-matian sesuatu yang ingin keluar dari dalam dirinya. Sangat tidak etis jika sampai ngompol di mobil mahal omnya. Sekarang ia sudah besar bukan anak kecil lagi.
Tapi tiba-tiba, Nick malah menghentikan mobil di tepi jalan, sebelum mencapai tujuan. “ Mobil nggak bisa langsung belok, kamu harus jalan kaki sendiri kalau mau, kalau nggak mau ya harus nunggu mobil sampai ke persimpangan sana.. ”
“ Jauh? ”
“ Mungkin kurang lima menit sa- ”
Bug..
“ ..mpai. ” ujung kalimat Nick tenggelam oleh pintu mobil yang berdebam tidak terdeteksi.
Agak risau Nick menoleh ke arah jalan, dan menemukan ternyata Julia tidak sendirian, ia sudah bergandengan tangan dengan kawan dekatnya, tapi tidak persis seperti itu, karena Amel malah seperti di seret paksa sampai mereka tiba di tujuan.
Melirik ke arah jam tangan, Nick kembali menyesali apa yang sudah ia lakukan, dan berpikir banyak yang sudah ia selesaikan jika tidak mengikuti kemauan kakaknya. Merogoh saku jas, meraih ponselnya, Nick mengirim pesan untuk Ben, meminta pria itu mengirim beberapa dokumen yang belum sempat ia baca ke email ponselnya.
Tak berselang lama beberapa email yang diminta pun sudah terkirim ke ponsel Nick. Tapi ada pesan lain juga yang ia dapat dari grup chat di aplikasi Chatting bersama tiga sahabatnya.
‘Hei hei hei, kalian para bajingan, entar malem jangan sampe nggak dateng.. gue absenin atu-atu lu semua..’ pesan dari Ragil Sapuji Bramasta, makhluk bertanduk yang agak labil dan sudah lima bulan ini ia lepas dari pawangnya.
Membaca pesan itu mengingatkan Nick pada pertemuan akhir pekan lalu, Ragil sudah pernah mengatakan perihal bisnis barunya dan bersikeras pada ketiga temannya untuk dapat hadir malam ini.
‘Maaf ya, kayaknya gue gak bisa dateng gil.. ada banyak kerjaan, lu tau kan SIG lagi sekarat.’ balas Nick yang sebenarnya merasa enggan untuk mengetik kalimat itu, apalagi ini bukti perubahan yang baik dari kawannya Ragil, maka sangat tidak adil jika Nick tidak turut hadir memberi apresiasi untuk makhluk liar itu..
‘Yaaa, lu nggak asik banget nyet.. padahal gue mau kalian bertiga jadi tester pertama minuman baru gue..’
‘Yaelah, kerja bisa besok lagi kali, ini kumpul cama satu malem doang gak lebih.’ sahut Tarra si penjahat kelamin tapi juga paling pengertian dari empat kawannya yang lain. ‘entar gue bisa bantu lu.. masih banyak kenalan gue yang mau investasi. ’
‘Iya, gue juga bakal bantu lu Nick.. nggak usah dibuat ribet, dibawa santai aja. Namanya juga kerjaan pasti ada pasang surutnya.’ kini giliran Ares yang keluar ikut mendukung ajakan yang lain.
Nick pun tak menyalakan mereka yang bersikeras untuk membawanya datang memenuhi undangan sahabat mereka Ragil, karena hal seperti ini pun sering terjadi di saat-saat penting saja, dan seharusnya tidak ada alasan Nick mengabaikan satu malam untuk berbagi kesenangan bersama tiga sahabatnya.
Saat Nick akan menulis beberapa kalimat untuk menjawab ajakan ketiga makhluk itu, tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari seseorang yang tidak asing ditelinga Nick. Ia menengok ke kaca mobil ke arah jalan .. air wajahnya seketika berubah.
Bunyi benturan yang tenggelam dengan decitan rem serta teriakan beberapa dari pejalan kaki seperti melambat di matanya dan semua suara seakan berdengung di telinga Nick.
Keadaan memburuk, menjadi panik, ia segera meninggalkan kemudinya dan berlari menuju titik tempat kejadian.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Tipuan Hati
RomanceNick, bukanlah penipu hati yang ulung dalam memainkan perannya, dan begitupun Amel, bukanlah perempuan tangguh yang mampu menentang segala apapun walau tahu ini akan menyakitinya. *** Ini bukan kisah seseorang yang lemah, tapi ini kisah tentang Amel...