Chapter 10 - The Unexpected

1.2K 126 23
                                    

Joshua membawa Jeonghan yang sudah tak berdaya ke rumah sakit dengan mobil barunya.

Ia bermaksud mengajak Jeonghan makan di restoran favoritnya setelah membeli mobil itu. Tapi ia malah mendapati sang omega terkapar hampir tak sadarkan diri di kamarnya. Ketika Jeonghan tidak membukakan pintu untuknya setelah ia menekan bel beberapa kali, ia berinisiatif untuk bertanya tentang keberadaan Jeonghan pada bibinya, Choi eomma, yang tinggal di sebelah. Wanita itu bilang Jeonghan seharusnya ada di rumahnya dan memberinya kunci cadangan yang memang dititipkan padanya.

Betapa paniknya Joshua selama di perjalanan ke rumah sakit. Jok mobilnya kotor terkena noda darah Jeonghan, tapi ia tidak peduli. Yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana caranya mencapai rumah sakit secepatnya. Ia sempat memeriksa denyut nadi pria yang lebih muda itu, dan ia dapat merasakannya begitu lemah. Tangan Joshua gemetar di roda kemudi, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Ia tidak mau kehilangan Jeonghan.

"Jeonghan, kumohon bertahanlah..." Pintanya sambil menahan air matanya.


**********


Jeonghan terbangun di dalam ruangan yang gelap gulita, begitu gelap sampai ia pikir matanya telah menjadi buta.

Ia tak tahu ia berada di mana atau apakah ia masih hidup. Ia hanya ingat dirinya merasakan sakit yang teramat di perutnya dan diselamatkan oleh seseorang. Rasa takut mulai menyelimutinya. Kegelapan ini kian terasa mencekam akibat ketiadaan suara di sekelilingnya. Sunyi senyap, ditambah hawa dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba, dua titik cahaya muncul di sisi kanan dan kirinya. Ia bisa melihat sekarang bahwa ia berada di sebuah persimpangan lorong -- tampak seperti lorong kereta tanpa rel, dan titik cahaya itu mungkin menandakan akhir tiap lorongnya.

Ia hanya harus memilih, hendak ke kanan atau kiri.

Ketika ia menoleh ke kiri, ia terkejut karena mendapati seorang wanita yang wajahnya sangat familier. Ia tidak akan pernah lupa. Wanita itu adalah mendiang ibunya yang telah pergi belasan tahun lalu. Rasa rindu menerjang tanpa aba-aba dan mendorong air matanya jatuh begitu saja. Ia segera berlari ke arah wanita itu dan memeluknya. Ia tidak peduli apa-apa lagi. Wajahnya ibunya masih sama, raut itu, menatapnya penuh kasih dengan senyuman lembut sebagaimana dalam ingatan Jeonghan -- sebagaimana ia terakhir kali melihatnya dulu.

"E-eomma... Aku sangat rindu eomma!" Jeonghan menangis tersedu sambil mengencangkan pelukannya.

Wanita itu balas memeluk putranya.

"Kenapa eomma tidak pernah menemuiku? Aku kesepian..." Suara Jeonghan bergetar akibat emosi yang meluap-luap.

"Hanie anak baik. Eomma yakin kau dan appa bisa berbahagia tanpa eomma. Maafkan eomma, ya..." Balas ibunya, mengusap rambut Jeonghan.

Jeonghan menggeleng kencang.

"Aku tidak bisa... Aku sudah tidak kuat," Bantahnya sebelum melanjutkan, "bawa aku bersamamu, eomma..."

Jeonghan merasa sudah siap untuk membuang semuanya agar bisa terus bersama ibunya. Ia sadar mungkin ini adalah pilihan gegabah yang akan membuat ayahnya sedih, tapi ia benar-benar tidak ingin kembali ke kehidupan lamanya.

"Apa kau yakin, sayang? Coba Hanie pikirkan lagi. Kau tidak akan bisa bertemu appa dan teman-teman yang lainnya nanti." Tanya Yoon eomma pelan.

Jeonghan menghela napas dan membayangkan wajah ayahnya, dan bagaimana pria paruh baya itu akan menjadi sebatang kara di hari tuanya. Tidak ada yang merawatnya. Meskipun sibuk bekerja, ayahnya selalu berusaha meluangkan waktu untuknya dan merayakan ulang tahunnya bersama. Ayahnya selalu membelikan makanan kesukaannya. Ayahnya mengajarinya berhitung, menggambar, bermain konsol gim... Ia akan menjadi anak paling durhaka. Tangisnya makin keras akibat hatinya yang seperti tersayat-sayat. Tidak, ia tidak tega melakukan itu pada ayahnya.

Punch to the Heart - CoupshanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang