LUAS YANG SEDERHANA

27 11 0
                                    

LUAS YANG SEDERHANA.

Karya: Bananachew.

***

Hari Minggu ini jalanan ramai sekali, berlalu lalang segala model kendaraan menyebabkan macet dimana-mana. Setelah pertememuannya dengan para sahabat, Mitha memutuskan untuk mengunjungi café yang cukup terkenal dan selalu ramai pengunjung. Apalagi saat weekend seperti hari ini, untung saja Mitha masih kebagian tempat duduk walau agak pojok tapi cukup nyaman karena dekat dengan jendela.

Mitha tahu café ini karena mencuri dengar dari teman kelasnya yang heboh bercerita. Temannya berkata kita bisa mengobrol dengan pelayannya, seperti berbagi pikiran dan berdiskusi.

Pandangannya mengitari sekeliling café. Benar saja, banyak perempuan yang mengisi kursi dengan pria yang Mitha duga pelayan café ini. Huft pantes rame, pelayannya cakep-cakep, pikir Mitha. Perlayan dan pelanggan terlihat seperti teman lama, saling mengobrol dan melempar canda. Suasana café ini sangat ramai dan hangat.

Lalu dilihatnya bingkisan yang dibungkus rapih di kursi sebelahnya. Menghela napas pelan, bingkisan pemberian para sahabat. Seperti sebuah tradisi setiap tahun mereka akan saling memberi hadiah. Entah benar-benar memberi atau hanya formalitas karena telah diberi.

Mitha melihat seorang pria dengan pakaian pelayan menghampirinya. Ah, tadi dia telah memesan beberpa menu.

"2 caramel macchiato, 2 cupcake dan 'diskusi time'nya." Iya dalam menu café ini ada 'diskusi time' seperti yang teman Mitha jelaskan tadi. Waktu untuk berdiskusi dengan para pelayan.

Setelah menyajikan pesanan Mitha pelayan itu duduk di kursi hadapannya sambil melempar senyum tipis.

"Ah, iya terimakasih," ucap Mitha agak grogi. Pertama kalinya Mitha duduk berdua dengan seorang pria, apalagi pria didepannya ini Mitha akui tampan.

"Sorry, pelayan yang lagi kosong sekarang cuman gue aja, gak masalah, kan?"

"Iya, gak apa-apa, kak." Mitha mengangguk pelan. Mendengar panggilan dari Mitha pelayan itu mengangkat sebelah alisnya.

"Kayanya perkenalan dulu yah. Biar gak terlalu formal," Ucap pria itu sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya.

Mitha mengangguk. "Boleh, namaku Mitha, kalau kakak?" Pelayan itu tertawa mendengar ucapan Mitha. Mitha menatapnya bingung.

"Gue Art dan lu cukup panggil gue Art tanpa embel-embel kakak," jawab Art yang diangguki Mitha. "Dan sorry gue gak biasa pake aku kamu," tampah Art dengan melempar senyum yang memperlihatkan giginya.

Mitha tertawa kecil. "Gak apa-apa, Art. Senyamnnya aja"

"Harusnya gue gak sih yang ngomong gitu." Art melempar pandangan menggodanya. Mitha hanya tertawa kecil melihatnya.

"Btw, Art? Itu seni kan?"

"Iya, muka gue kan mahakarya Sang pencipta."

Mitha terbahak mendengar ucapan Art yang percaya diri itu. Tapi gak salah juga sih. Padahal baru pertama kali bertemu tetapi mereka sudah seperti teman lama. Bahkan Mitha tak sungkat untuk tertawa keras didepan pria itu.

"So, karena gue gak terlalu pandai basa basi, ini pertama kalinya lu kesinikan?" Mitha mengangguk. "Oke, lu udah punya topik diskusinya? Sorry nanya gini biar gak cengo aja gue nanti waktu diskusi kalau topiknya gak jelas."

Mitha tersenyum maklum, orang didepannya ini tipe yang blak-blakan ternyata. "Ada kok. Jadi ada yang mau aku tanyain, tapi Art jangan ketawa yah."

"Oke?" jawab pria itu tidak yakin.

Aksara BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang