Hi, my name is Zahra. You can call me 'Zahra,' 'Zah,' or just call me 'Ra.' Atau mau buat panggilan sendiri, boleh. But don't call me 'Author' atau 'Thor.'
...Happy Reading...
.
.
."Aku memang tak pernah bahagia sejak kecil, tapi setidaknya di masa itu aku belum sadar seberapa tak berharga dan sampahnya diriku."
>>Indira Farisha Purnama<<
Prang!
Suara pecahan botol kaca terdengar begitu jelas. Beruntungnya pecahan itu terjadi di ruangan yang kedap suara sehingga tak ada orang lain yang dapat mendengarnya selain si pelaku yang memecahkan botol kaca tersebut.
Dengan mata yang sembab, gadis yang memecahkan botol kaca tersebut berjalan ke arah pecahannya. Dengan sisa tenaganya, ia mengambil salah satu pecahan yang ada.
"Dira cape ... Dira cape ..."
Tanpa berpikir lagi, gadis itu langsung menggoreskan pecahan kaca itu ke lengannya. Ada sedikit rasa lega saat ia melakukannya. "Cape ..."
Tanpa memberi sedikit rasa ampun kepada dirinya sendiri, gadis itu terus saja melukai dirinya. Hingga akhirnya suara notifikasi dari ponselnya menghentikan aksinya. Ia pun segera meraih ponselnya.
Ayah
|Persiapankan diri Anda dari pukulan yang akan saya berikan nanti.
Dengan tangan yang gemetar, Indira menggerakkan jari-jarinya untuk mengirim sebuah pesan balasan kepada ayahnya itu.
Me
|Please ... jangan lagi, Ayah ...Tak lama dari itu Indira segera menghapus pesannya. Karena Indira tau, mau sebanyak apapun dia memohon, ayahnya tetap saja akan melayangkan tangan kekarnya untuk menamar pipinya.
Ting!
Lagi. Suara notifikasi mengalihkan fokusnya. Kali ini bukan dari ayahnya.
Bunda
|Anak sampah!Sakit. Rasanya begitu sakit membaca pesan itu. Padahal itu bukanlah pertama kalinya bundanya berkata demikian. Tapi Indira masih saja merasa sakit setiap kali membaca atau mendengarnya secara langusng. Bukankah seharusnya dia terbiasa?
Tak dapat terbayangkan betapa hancurnya Indira saat ini. Pesan-pesan dari orang tuanya benar-benar mengancurkan hatinya. Frustasi, itu yang Indira rasakan. Dengan gerakan kilat Indira membanting ponsel miliknya.
Indira kini hanya bisa terduduk lemas dengan tangan yang sedang menarik kuat rambutnya. Rasanya Indira ingin menghilang saat ini juga.
"DUNIAAAA JAHAAAT!"
Indira berteriak histeris layaknya orang kesetanan. Malam ini ia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Di tengah tangisannya, Indira teringat akan sesuatu. Dan itu membuatnya berjalan menghampiri nakas. Ditariknya salah satu laci yang ada di sana hingga ia mendapatkan benda yang dicarinya. Sebuah buku harian yang sudah usang.
Wajar saja apabila buku itu terlihat usang, karena buku itu saja sudah Indira miliki sejak ia masih berada di bangku kelas 5 SD. Buku itu yang selalu digunakan Indira untuk menulis semua keluhannya. Dari Indira SD sampai sekarang, buku itu sudah terikat dengan Indira.
Perlahan tangannya mulai membuka buku tersebut. Halaman pertama yang dilihatnya adalah sebuah tulisan yang ditulis dengan pena. Tulisan itu sudah mulai mengabur, tetapi masih sangat jelas untuk dibaca.
Indira Iri
Dira iri dengan semua teman-teman Dira ...
Dira iri ...Dulu semasa Dira masih TK, Dira sering melihat teman-teman tampak dekat dengan kedua orang tuanya. Saat mereka semua pulang dari sekolah, mereka selalu disambut hangat oleh kedua orang tua mereka. "Papa," "Mama," "Abi," "Ibu," dan banyak panggilan lainnya mereka ucapkan setiap pulang sekolah. Dira juga ingin seperti mereka. Dira ingin bisa memanggil Ayah dan Bunda saat Dira pulang sekolah. Dira ingin selalu disambut hangat seperti mereka yang lain. Namun, pada kenyataannya Dira selalu sendiri. Tak pernah ada orang tua yang menyambut Dira saat Dira pulang sekolah.
Dira selalu berharap, kalau tidak bisa disambut saat di sekolah, setidaknya Dira ingin disambut hangat saat sudah tiba di rumah. Namun kembali pada kenyataan, bukan sambutan hangat yang Dira dapat melainkan sebuah teriakan dan tamparan. Hingga teriakan dan tamparan itu masih berlangsung pada detik ini.
Sekarang Dira udah nggak mau dijemput lagi setiap pulang sekolah. Tapi Dira cuman mau kasih sayang dari Ayah dan Bunda. Kasih sayang tanpa melibatkan kekerasan.
Di mana letak kesalahan Dira? Kenapa Ayah dan Bunda selalu menggunakan tanganya untuk menyiksa Dira? Dira salah apa?
Tangis Indira semakin pecah saat membaca kalimat yang ada di halaman pertama buku itu, dan membuat buku itu sedikit basah. Bahkan tangannya yang berdarah akibat goresan kaca tadi pun ikut mengenai buku itu. Sesak kembali ia rasakan.
Di sela-sela tangisannya Indira berucap, "Aku memang tak pernah bahagia sejak kecil, tapi setidaknya di masa itu aku belum sadar seberapa tak berharga dan sampahnya diriku."
***
Masih awalan, guys. Hehe.Btw, mau tanya. Kalian tau cerita ini dari mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederet Luka Untuk Indira (Sudah Terbit)
Teen FictionWARNING! *MENGANDUNG BEBERAPA KATA KASAR *BEBERAPA CHAPTER MENGANDUNG PERILAKU MENYAKITI DIRI SENDIRI YANG DIBUAT TIDAK UNTUK DITIRU For: 17+ *** "Aku memang tak pernah bahagia sejak kecil, tapi setidaknya di masa itu aku belum sadar seberapa tak be...