"Tuhan, jika bahagiaku memang nyata, kumohon perlihatkan itu."
-Someone-
.
.
."Dira, lo mau ke mana bawa-bawa tas gini?"
"Lo mau bolos sekolah atau gimana ini?"
"Mau pulang? Penyakit lo kambuh lagi? Lo baik-baik aja kan, Dira?"
Pertanyaan beruntun itu jelas saja berasal dari Viola, Aya dan juga Brama. Pasalnya mereka bertiga terkejut melihat Indira masuk ke dalam kelas dan tiba-tiba mengambil tasnya.
"Gue mau ke rumah sakit buat perawatan," tutur Indira.
Perkataan Indira itu tentu saja membuat ketiga temannya kembali terkejut. Apakah penyakit Indira kambuh? Tapi kenapa bisa tiba-tiba kambuh, padahal tadi pagi Indira masih baik-baik saja.
Ketiga temannya jadi menatap Indira dengan tatapan yang terheran-heran. Penuh akan tanda tanya.
"Penyakit gue nggak kambuh. Cuma tadi Ayah jemput gue buat ngajak gue ke rumah sakit," kata Indira yang mengerti akan tatapan dari ketiga temannya.
Usai mengatakan itu, Indira pergi meninggalkan kelas. Kembali menuju ayahnya. Sungguh rasanya berat untuk melangkah.
Brama mengikuti Indira, dan berusaha untuk menyamai langkah kakinya.
"Gue temenin lo, ya," kata Brama setelah dia berada di samping Indira.
Jujur saja, Indira merasa agak canggung ditemani Brama. Setelah Brama mengatakan Then let me ask you to be mine. May i, Indira benar-benar bingung mau merespon Brama bagaimana. Sulit rasanya memberikan respon kepada teman yang memiliki perasaan kepada kita. Apalagi jika kita sendiri tau tentang perasaan itu.
"Kalau diam berarti gue anggap iya. Oke, Dira?"
Indira hanya kembali diam. Dan pada akhirnya Brama menemaninya.
Sebenarnya, alasan Brama ingin menemani Indira adalah karena Brama tidak ingin Indira digoda oleh para buaya jantan seperti tadi pagi. Brama tidak menyukai hal itu. Brama cemburu. Cemburu kepada seorang yang bukan miliknya.
"Hiks!"
Satu isakan tangis lolos begitu saja dari Indira. Gadis itu menangis. Mengeluarkan air mata yang sebenarnya sudah ia tahan sejak bertemu ayahnya di ruangan kepala sekolah tadi. Topeng yang selalu menutupi itu mulai hancur sekarang.
"Ayah udah mulai peduli sama Dira?"
"Jangan kepedean anda! Saya hanya tidak ingin seorang putri dari bos di perusahaan besar nanti mati konyol karena sebuah penyakit yang dideritanya. Saya tidak mau reputasi saya rusak."
Perkataan dari ayahnya benar-benar membuat dirinya terluka. Rasanya sakit saat mengingat semua kepedulian ayahnya hanya beralaskan reputasi.
Berharap akan sebuah kasih sayang dari orang tua rasanya hanya seperti berharap pada luka. Luka yang akan selamanya basah. Luka yang tidak akan pernah mengering.
Harapan selalu terasa indah diawal. Namun, tak jarang juga bahwa harapan itulah yang akan memberikan luka.
Brama yang berada di sebelah Indira terkejut melihat Indira yang tiba-tiba menangis. "Dira, why you cry? Are you okay?"
Semakin basah sudah mata Indira. Sungguh dia sangat tidak bisa mendapatkan pertanyaan berupa are you okay.
"Please, tell me why you cry." Brama mulai khawatir karena tangis Indira masih juga belum berhenti.
Indira masih tidak menjawab pertanyaan Brama. Sulit rasanya untuk menjawab di saat air mata sedang membendung. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang membungkam mulut.
Brama yang melihat Indira jadi tidak tega. Tangannya mulai menarik Indira ke dalam pelukan. Tidak peduli jika sedang ada yang melihat mereka, karena yang Brama pedulikan saat ini adalah memberikan Indira ketenagan. Hanya itu yang Brama pikirkan sekarang.
"Hey, jangan nangis. Ada Anzah di sini."
Indira yang memang sudah rapuh itu akhirnya memilih membalas pelukan dari Brama. Menumpahkan semua air matanya. Tapi... tunggu dulu. Anzah?
Siapa Anzah. Kenapa rasanya nama itu nggak asing buat gue.
***
Tangan yang ditempelkan dengan selang infus. Mata yang terpejam lemas. Bibir pucat. Wajah lesu itu. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat tidak disukai Fatur. Fatur benci pemandangan itu.
Saat Indira masuk ke dalam mobil tadi, tiba-tiba saja gadis itu mendadak lemas dan berakhir kehilangan kesadarannya. Dan melihat itu Fatur langsung buru-buru melajukan mobilnya untuk segera menuju rumah sakit.
Dan ada di sini Indira sekarang. Di ranjang rumah sakit. Ranjang yang menyebalkan.
"Sakit... sakit. Jangan tampar Dira lagi, jangan. Ayah, jangan tampar Dira lagi. Bunda, tolong berhenti siksa Dira."
Fatur langsung mendadak lemas mendengar perkataan putrinya. Mata Indira terpejam, tapi mulutnya terus meracau memohon ampun agar berhenti ditampar.
"Dira mau dipeluk, bukan dipukul. Dira mau disayang, bukan disiksa. Indira punya nama, dan nama Indira bukan Anak Sampah. Dira mau Ayah peduli sama Dira sebagai anak, bukan karena reputasi."
Ada penyesalan dalam diri Fatur saat mendengar kalimat-kalimat yang terus terucap dari mulut putrinya itu. Menyesal karena sudah menyakiti Indira begitu dalam.
"Dira mau merasakan kebahagiaan bersama orang tua. Bukan merasakan penderitaan yang tanpa henti ini. Tuhan, jika bahagiaku memang nyata, kumohon perlihatkan itu."
Cukup. Sudah cukup Fatur mendengar racauan Indira. Jika Fatur harus mendengarnya lagi, Fatur tidak kuat. Itu hanya akan membuat dirinya semakin terjebak dalam rasa penyesalan yang teramat dalam. Fatur tidak sanggup.
Fatur pergi meninggalkan ruangan rawat Indira. Dia tidak benar-benar pergi, hanya saja dia berada di luar ruangan. Tempat di mana dia tidak akan mendengar racauan Indira yang membuat hatinya tersayat.
Indira mendengarnya. Mendengar suara langkah kaki Fatur yang pergi. Perlahan matanya terbuka. "Maafin Dira, Ayah. Dira cuma pura-pura mengigau. Dira cuma mau Ayah tau kalau selama ini Indira sangat terluka atas semua perlakuan Ayah dan Bunda."
Sejak sekitar lima menit yang lalu, Indira sebenarnya memang sudah tersadar dari pingsannya. Dan saat dia menyadari ada Ayahnya, terlintas lah di otaknya untuk meracau seperti tadi. Hal itu dia lakukan agar ayahnya mengerti sakit yang selama ini Indira tanggung. Itu pun jika ayahnya mengerti.
Jika dengan cara tadi Fatur masih tidak berhenti juga menyiksa Indira, maka sebutan yang benar-benar pas untuk Fatur adalah iblis. Iblis yang berwujud manusia, dan sedang berkedok sebagai orang tua. Iblis yang jahat.
"Hah... bosan juga."
Sekarang Indira merasakan bosan karena sendirian berada di ruang rawat tanpa ada yang menemani. Dan di saat sendirian seperti ini, dia jadi mengingat teman-temannya. Andai saja teman-temannya berada di sini untuk menemaninya, pasti dia tidak akan merasakan bosan seperti sekarang.
Ngomong-ngomong soal teman, Indira tiba-tiba saja mengingat satu nama. Brama. Dan secara tiba-tiba juga, perkataan Brama teringat di kepalanya.
"Hey, jangan nangis. Ada Anzah di sini."
Anzah. Satu nama yang tidak asing. Indira seperti pernah mengenali nama itu, sayangnya dia lupa siapa pemilik namanya.
"Vianzah Albrama. Kalau dipanggil Anzah kayanya nyambung juga. Tapi...gue kaya pernah dengar ini di masa lalu." Indira bermonolog.
"Siapa Anzah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederet Luka Untuk Indira (Sudah Terbit)
Novela JuvenilWARNING! *MENGANDUNG BEBERAPA KATA KASAR *BEBERAPA CHAPTER MENGANDUNG PERILAKU MENYAKITI DIRI SENDIRI YANG DIBUAT TIDAK UNTUK DITIRU For: 17+ *** "Aku memang tak pernah bahagia sejak kecil, tapi setidaknya di masa itu aku belum sadar seberapa tak be...