Fifteen: Mine

434 53 36
                                    

"She's mine. Only mine!"

-Vianzah Albrama-

Aina terbangun dari tidurnya. Pemandangan pertama yang dia lihat saat terbangun adalah putrinya yang masih berada di dalam dekapannya.

"Baru kali ini saya tertidur sambil memeluk anak ini."

Saat Aina hendak melepaskan pelukannya, ada sesuatu aneh yang membuatnya mengurungkan niatnya. Tubuh Indira. Tubuh itu panas.

"Dira, bangun! Dira!" pekik Aina.

Aina terus mengguncang tubuh Indira, tapi gadis itu tak kunjung juga bangun. Tubuh Indira panas sekali.

Khawatir, itu adalah perasaan Aina saat ini. Ada rasa khawatir yang luar biasa yang terdapat pada diri Aina saat melihat anak tunggalnya sakit. Pikiran yang buruk mulai menghantui Aina.

Rasa khawatir itu kini berbuah lega saat mendengar sebuah lenguhan yang keluar dari tubuh Indira. Akhirnya Indira bangun.

Aina dengan secara kasar mengusap air matanya yang sempat menetes. Dengan gerakan cepat, Aina memutar balikkan badannya agar Indira tidak dapat melihat wajahnya.

"Bunda, mau apa di kamar Dira?"

"Mau membangunkan Anda yang sedang tidur tanpa tau waktu. Ini sudah hampir siang. Jangan sampai anda telat untuk pergi ke sekolah, bodoh!"

Bukan. Bukan itu yang sebenarnya ingin Aina katakan. Bukan kalimat bodoh yang ingin Aina lontarkan. Tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk menahan lisannya.

"Bunda... kapan Bunda bisa berhenti maki Dira? Kapan Dira bisa merasakan pelukan hangat dari Bunda?"

Aina diam, menahan segala rasa sesak yang menimpa hatinya. Perkataan dari putrinya benar-benar menunjukkan betapa terlukanya dia. Saat Indira mengatakan itu, Aina ikut terluka.

Bunda udah peluk Dira, tapi Dira tidur. Maaf Bunda cuma berani peluk Dira saat Dira sedang terlelap. Maaf karena untuk sekarang ini Bunda masih enggan untuk memeluk Dira yang dalam keadaan sadar. Bunda... masih sedikit benci.

Hati Aina mengucapkan beribu kata maaf. Namun mulutnya sama sekali tidak mengatakannya.

"Bunda, Dira pengen banget dipeluk Bunda. Seenggaknya... sebelum Dira mati kayak yang kemarin Bunda dan Ayah bilang."

***

Brama, Viola dan Aya sedang berdiri di depan pintu kelas. Menunggu kedatangan Indira.

Mereka menunggu dengan berbagai macam pertanyaan yang berputar di kepala mereka. Apa yang terjadi setelah Indira keluar dari rumah sakit? Bagaimana kondisinya saat ini? Apakah hari ini Indira masuk sekolah?

"Dira cantik!"

"Eh, ada si geulis mau lewat."

"Pagi, neng geulis."

Ah! Indira pasti sudah datang, dan saat ini sedang melewati sebuah lorong yang akan menuju ke kelasnya. Jika tidak, mana mungkin para buaya jantan itu berteriak heboh seperti itu.

Brama, Viola dan Aya langsung bergegas menghampiri Indira sebelum buaya-buaya jantan itu mengusiknya.

Mau godain Indira? Hadapi dulu sahabat-sahabatnya!

Saat tiba di lorong, mereka bertiga melihat Indira yang sedang digodain dengan berbagai macam gombalan yang bikin umm... jijik. Dan salah satu diantara mereka yang melihatnya ada yang merasa paling tidak menyukainya. Itu adalah Brama.

Sederet Luka Untuk Indira (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang