...
Di luar pintu kelas, hujan deras sedang mengguyur Jakarta. Di dalamnya, murid-murid setengah hati mendengarkan penjelasan Mister Wong tentang karya sastra asing pasca renaisans.
Beberapa kali Mister Wong menyebutkan nama-nama yang sulit dieja. Mars pernah dengar sambil lalu. Dia sendiri lebih tertarik dengan sastra Indonesia. Bait-bait puitis milik Pramoedya Ananta Toer atau kehidupan sosial jaman reformasi yang sering digambarkan oleh Ahmad Tohari.
Di deret bangku nomor dua dari belakang, Mars menyembunyikan kepala di lipatan tangan. Kesadarannya timbul tenggelam dengan denyut yang mengikuti setelah semalaman mendengar omelan Jagad, Kepala Divisi Narkoba yang menaungi kasus Adrian yang sekarang jadi kasusnya. Lelaki berkumis itu tak habis pikir dengan tindakan gegabah Mars dan mengancam akan mengeluarkan Mars dari kasus jika terus-menerus membuat kesalahan.
"Sudah kubilang, kau tidak boleh melibatkan emosi!" Jagad mengelus kumisnya, "Belum apa-apa sudah buat onar."
Di antara kacau pikirannya, Ia melirik jendela. Masih saja hujan. Lalu netranya menangkap siluet Mawa.
Kan, kan, kebiasaan.
Mars jadi berkhayal bagaimana jika ia menyelipkan rambut Mawa? Membawa helai demi helai ke belakang telinga. Menyisirnya dengan jemari lalu mengikatnya jadi satu. Bagaimana jika setelahnya ia mendaratkan satu kecup sederhana di puncak kepala Mawa? Sebab profil samping gadis itu tampak seperti tokoh animasi di salah satu koleksi manganya. Ralat, manga Adrian yang diwariskan padanya.
Mars menghela napas berat. Sulit sekali untuk tidak teringat Adrian saat ia memikirkan tentang Mawa, pun sebaliknya. Entah bagaimana, mereka saling terkait dan Mars tak punya cara untuk mengurainya. Mars gelagapan saat tahu Mawa memergokinya. Gadis itu buru-buru melotot.
Mawa sempat mencebik sekali sebelum kembali melihat ke depan. Sedang Mars masih saja salah tingkah. Lelaki itu menggaruk bawah telinganya yang tidak gatal. Lantas Mars mengetahui ketika satu-satu teman sekelasnya sembunyi-sembunyi mengecek ponsel. Termasuk Mawa. Mendorong rasa penasaran untuk menilik miliknya sendiri yang turut bergetar di saku celana. Ternyata pesan siaran yang dikirim oleh ketua kelasnya.
Aftermath, Saturday Night @Namu house 8 a.m.
Mars membaca sekilas. Lalu kembali menyimpannya. Kali ini ia bersungguh-sungguh untuk tidur. Seluruh wajahnya sudah tenggelam saat ia tertunduk di atas meja. Hampir lelap ketika kegaduhan menyentaknya. Bunyi bel istirahat, tawa bersahutan dan obrolan yang mendadak riang terdengar di sekitar.
Tak lama, sapaan lembut terdengar di telinganya, "Kak, bangun. Ke kantin, nggak?"
Malas-malasan Mars mengangkat kepala dan menemukan wajah lain yang tersenyum di hadapannya.
"Yuk, Cha."
*****
Ada banyak cewek yang gencar mendekatinya di sekolah. Andai mereka tahu bentang jarak usia dengan Mars mungkin gadis-gadis itu akan putar balik... atau mungkin tidak?
KAMU SEDANG MEMBACA
CATASTHROPE
Teen FictionMars itu dingin. Suhu rata-ratanya -26°c hingga -87°c. Berangin, berawan, dan minim oksigen. Rotasi Mars teratur hingga suatu hari sebuah niatan balas dendam menuntutnya keluar dari orbit. Harusnya ini semudah menjentikkan jari sampai alasan-alasan...