7. Keluarga Cemara (1996)

38 13 116
                                    

...
Happy Reading, Folks 🖤

Sebenarnya Mawa malas pulang hanya untuk dimaki atau dipukul oleh Marlyn--Ibunya. Sayang, pilihannya tidak banyak. Mawa tidak bisa mengungsi ke kamar Aundy malam ini sebab Aundy dan keluarga harmonisnya sedang pulang ke Bandung. Dia juga tidak coba menghubungi Sage meski dengan satu sambungan telepon cowok itu akan bergegas menemuinya. Pada jalan buntu seperti ini, Mawa biasa membeli teh kotak atau susu di minimarket dekat pertigaan komplek. Lalu numpang melamun sampai tengah malam di meja kursinya. Niatnya urung karena teringat harus berhemat untuk membayar uang ekstrakulikuler sekolah.

Langkah goyahnya sampai di depan rumah. Mawa menarik satu napas panjang sebelum mengetuk dan masuk hanya untuk disambut tatap muak dari Marlyn. Perempuan akhir 40an, bermata kecil, bibirnya tebal dan memiliki rambut ikal. Lalu mudah mengeluh, sering bilang menyesal sudah melahirkan Mawa, tenaganya lemah tapi tamparannya kuat, dan tahu caranya menyakiti orang hanya dengan kata-kata.

Mawa meneruskan langkahnya sembari terus menghindari kontak mata dengan Marlyn. Hingga perempuan itu memanggilnya. Bukan, bukan dengan suara lemah lembut atau panggilan sayang tapi dengan sebutan anak sialan.

"Ngapain pulang jam segini? Sekolah 'kan cuma sampai sore?" mata kecil Marlyn melotot. Perempuan itu bertanya bukan karena khawatir tapi keterlambatan Mawa membuatnya harus mengerjakan sebagian pekerjaan rumah. Merepotkan baginya.

Belum sempat menjawab, Mawa keburu mendongak sebab rambutnya ditarik tiba-tiba. Marlyn menunjuk-nunjuk kening Mawa sembari merapal makian yang dihafal Mawa di luar kepala. Sebetulnya Mawa sudah biasa tapi saat Gamawan yang setengah mabuk tiba-tiba bangkit dari sofa hanya untuk ikut mendorongnya, Mawa mau tak mau merasa takut. Benar saja, tubuhnya yang tak seberapa besar dibanding lelaki paruh baya itu berakhir jatuh terantuk pegangan tangga.

Siklusnya serupa: Ayah memukul Ibu, Ibu memukul Mawa atau Ayah memukul Mawa dan Ibu diam saja.

Di tengah hingar bingar itu, Mawa hanya bisa mematung. Dia sudah ahli mematikan semua indra dalam sekejap. Walau setelahnya, dalam hening lamunan, luka itu suka kembali menganga. Berteriak minta disembuhkan dan Mawa tak tahu caranya. Dalam sekedip mata, masa lalu terkilas di hadapan Mawa.

Kelas berenang di penghujung minggu membuat Mawa melepas satu-satunya barang berharga yang melekat pada dirinya-- cincin emas peninggalan mendiang nenek. Pernah hampir jatuh ke dasar kolam jadi sebab Mawa lebih berhati-hati sebab ukurannya memang longgar di jari manis Mawa. Hari itu, Mawa sedikit ceroboh. Kalau benda itu biasa ia bawa dalam kotak pensilnya, kali ini Mawa tak sengaja letak begitu saja di atas meja belajar dan berakhir tak dapat menemukan benda itu pada sore harinya. Ia membongkar seisi kamar dan  memberanikan diri bertanya pada kedua orang tuanya. Sesuai dengan firasat Mawa, tanpa dosa Gamawan mengaku sudah menjualnya karena butuh uang untuk membayar hutang.

"Tapi itu penting buat aku, Yah. Itu punya nenek!" Mawa setengah berteriak. Gamawan mana peduli? dan ketika anak gadisnya terus membantah ia melayangkan satu tamparan di pipi kanan Mawa. Sebab itu cincin nenek, Mawa pikir kali ini Marlyn akan sedikit punya empati terhadapnya. Ternyata tidak. Pukulan Gamawan lanjut bertubi-tubi hingga Mawa hanya bisa meringkuk di bawah tangga sembari melindungi kepala dengan tangannya.

"Apanya yang punyamu? Selama ini kamu hidup, sekolah, dapat tempat tinggal itu nggak bayar! Baru cincin saja protes. Dasar anak setan!"

Oh, ya?

Mawa tidak sanggup menerima pukulan lagi. Ia merasa sudah diambang hidup dan mati. Dengan sisa tenaga yang ada ia berusaha bangkit melarikan diri. Tujuan tidak penting, kemana saja asal jauh dari dua orang itu. Mawa meneruskan niatnya walau di belakang sana Marlyn dan Gamawan meneriakan sumpah serapah dan mengacungkan tinju.

CATASTHROPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang