III

205 40 3
                                    

Restoran yang dipilih Choi Mujin untuk acara maka siangnya bersama Jiwoo adalah restoran Jungsik. Sebuah restoran yang berada di kawasan Gangnam yang lenggang.

Jiwoo memperhatikan ruangan dalam balutan palet hitam putih dengan sebuah dekorasi tangkai bunga anyelir berwarna merah muda, sederhana namun modern. Sejujurnya ia pernah beberapa kali singgah di restoran milik chef Yim Jungsik ini, namun rasanya tetap berbeda jika disambangi dengan seseorang yang spesial.

Mujin tersenyum tipis, ia menatap Jiwoo dengan penuh arti. Gadis itu cantik dan menawan, siapapun akan merasa mudah jatuh dalam pesona nya, bahkan hanya dengan beberapa kali lirikan mata.

"Untuk kalangan atas sepertimu, Restoran ini mungkin tidak asing lagi, bukan?" tutur Mujin pelan.

Jiwoo mengalihkan perhatiannya pada Mujin, ia mengangguk kecil, "Ya, aku pernah beberapa kali ke sini."

"Tapi, kemana semua pelanggan di sini? Biasanya jam makan siang selalu ramai." ujar Jiwoo heran.

Restoran ini memang tidak menyediakan meja lebih dari 15 meja. Karena sesuatu yang terbatas itu menjadi restoran tersebut selalu ramai, meski harga tiap menunya sangat menguras isi kantong.

Mujin mengangkat bahunya acuh, ia tidak mau mengatakan pada Jiwoo jika semua itu adalah ulahnya. Biasanya, para wanita tidak suka pada pria yang suka pamer kehebatan ataupun kekayaan, apalagi jenis wanita seperti Jiwoo. Di mana kedua hal itu sudah biasa baginya.

Obrolan ringan keduanya sedikit terganggu dengan kedatangan para pelayan yang mengantarkan pesanan Jiwoo dan Mujin. Keduanya telah selesai menyantap hidangan pembuka berupa Tuna geojulpan beberapa menit yang lalu. Untuk menu utamanya, Mujin memesan steik dengan ditemani Stout, salah satu jenis dari bir hitam. Sedangkan Jiwoo memesan steik dan Jus Cranberry, ia bukan penikmat alkohol, sehingga jus delima adalah alternatif terbaik baginya.

Makan siang mereka terlewati begitu saja, Jiwoo tersenyum manis setelah menghabiskan seluruh hidangannya.

Makanan di Jungsik memang jempolan. tidak aneh jika restoran itu menempati posisi ke-25 sebagai restoran terbaik di dunia.

"Jadi, pembicaraan ini akan dimulai dari mana?" tanya Jiwoo dengan antusias.

Mujin tersenyum tipis, ia menatap gadis itu dengan penuh minat. "Kau terlihat tidak sabaran sekali," ujarnya santai, "Sebegitu kuat kah keinginan mu untuk menghancurkan Jisook?"

Jiwoo mengangguk tanpa ragu, "Sangat besar, dan aku ingin segera mengakhiri karir pria tua itu." Jawab Jiwoo.

Mujin mengangguk paham, ia kemudian menelepon seseorang dan selang beberapa menit seorang pria datang pada Mujin dengan beberapa berkas yang dibawanya.

Jiwoo menatapnya dengan penuh rasa keinginan tahuannya. "Itu apa?" Tanya Jiwoo.

Mujin mengulaskan senyumnya, Jiwoo merasa jika pria itu terlalu sering mengumbar senyum, hal itu berdampak aneh pada hatinya.

"Bacalah! Dan kau akan tahu apa di dalamnya." Mujin menyodorkan beberapa berkas yang barusaja diantar oleh anak buahnya pada Jiwoo. Gadis itu menerimanya dengan ragu, dan mulai membuka tiap lembar kertas di dalamnya. Ia membacanya dengan seksama, kedua alisnya berkerut penuh tanda tanya.

Di dalamnya adalah salinan sertifikat kepemilikan kebun anggur milik pamannya. Sekilas tidak ada yang aneh, namun detik berikutnya Jiwoo menemukan jika kebun anggur milik Jisook dibeli dengan anggaran perusahaan milik Yoon's Group.

"Apa-apaan ini?!" Suaranya Jiwoo terdengar kesal, dan Mujin menikmati semua itu dengan wajah yang santai.

"Aku, Aku bahkan tidak tahu jika pamanku memiliki kebun anggur di Chichibu." ujarnya lagi.

Shangri-La (Mujin - Jiwoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang