Hey, hey, hey !
Where do you think you're going?Suara cantik Lennon Stella berpadu dengan suara seksi Drew Taggart ini terdengar menggelitik kuping. Sekaligus menyindir. Aku membuang napas dan menahan bibirku manyun selama lima detik. Well, kenapa memangnya? Tidak apa kan aku keluar rumah? Lagipula wabah menakutkan itu sudah menyusut dan tinggal menunggu waktu saja kota ini akan mendeklarasikan kemerdekaannya melawan pandemi dunia itu. Lihat saja jalanan kota ini-- hm... Stella dan Taggart kan tidak bisa lihat ya? -- ramai oleh pengendara dengan tujuan masing-masing. Apalagi dengan kenyataan bahwa ini hari Jumat dan sore pula. Malah remaja-remaja tanggung dengan entengnya memacu motor dan menyalip semau mereka. Merasa bahwa nyawa mereka ganda sembilan. Jadi, dengan keberadaanku sekarang : berkendara santai, taat aturan, plus masih memakai masker penutup hidung dan mulut, bukan dosa besar toh?
Bukan tanpa alasan aku ikut meramaikan jalanan protokol sore ini.
Mataku meredup di balik kacamata bening milikku. Redup karena lelah. Lelah sekian lama mengutuk diri sendiri. Lelah sekian lama menerka perasaan sendiri. Lelah sekian lama memperdebatkan tentang 'jahat atau tidaknya' perilakuku belakangan. Lelah sekian lama mencari penegasan akan dibawa ke mana aku dan dia di masa yang akan datang.
"Hai, Vanya! Ngobrol berdua yuk. Di Platform Café."
Detik pertama pasca membaca pesan itu, aku sudah mengira apa kesimpulannya. Aku yakin dengan firasatku itu. Sebelum aku memandang satu titik di wajahnya pun aku sudah yakin bahwa aku bisa lepas dan bebas dari belenggu konflik kepalaku sendiri. Bahkan kalau aku mau, detik pertama setelah membaca pesan itu aku boleh merayakan kelegaanku itu. Tersenyum miring dan meneriakkan kepada satu sisi pikiran tentang "Lihat itu! Aku nggak jahat tahu! Sejak awal tidak ada apa-apa!"
Tapi tidak. Aku memerlukan penegasan itu. Aku butuh dia yang mengatakan sesuatu itu. Aku ingin mendengar sendiri, langsung, nyata dengan kuping di kepalaku tentang apa yang kami jalani selama ini.
Dan di sinilah aku. Mengendarai motor dengan sesantai mungkin di antara keramaian hari terakhir weekdays jalan protokol. Bersama alunan pelan lagu Take Away dan hati yang sibuk menghitung jarak yang sudah ku bunuh oleh putaran roda sepeda motorku.
Tiba-tiba wajahnya hadir di benakku. Wajah yang lama ku kenal. Wajah yang tidak banyak mengalami revolusi oleh waktu. Sawo matang, sedikit tembam, dan poni ikalnya yang jatuh ke dahi. Aku tersenyum. Lebih tepatnya tersipu. Sejak dulu setiap ia menatap, aku pasti tersipu. Aku tidak tahu apakah besok tetap begitu.
Setelah dua kali berbelok dan memasuki gang pintas, aku sudah eksis di jalanan yang lebih kecil dari jalan protokol pertama tadi. Jarakku dengan dia semakin dekat. Tinggal hitungan detik aku akan melihat wajahnya yang familiar sekali dalam hidupku. Lagu yang ku dengar sedang memainkan nada EDM khas The Chainsmokers mengiringi Lennon Stella yang berkata "Your heart for take away," . Teringat olehku, lama sekali saat ia mengatakan bahwa dia menggilai musik EDM yang ku respon dengan "Aku nggak suka EDM kecuali The Chainsmokers." lalu dia tertawa. Sebentar lagi dia akan mengatakan sesuatu itu dan apakah setelahnya akan tertawa mendengar responku, aku tak tahu.
Aku tiba di halaman luas kafe yang mengusung tema Harry Potter itu. Setelah memarkirnya rapi tepat di sebelah sepeda motor- nya , aku tidak langsung lengser dari sana. Ku buka kacamata lalu bercermin di spion. Usaha yang sia-sia karena dandananku masih rapi. Aku melirik sepeda motornya dengan perasaan campur aduk. Cuek tapi berdebar. Segan tapi tak sabar. Ingin masuk tapi juga ingin kabur. Beberapa kali aku mematut diri di cermin spion kemudian mendesah kasar. Aku ini apaan sih? batinku sembari memutar bola mata. Ingat, Nya! Kamu perlu penegasan. Masuk sana gih!
Akhirnya aku melangkah menjauhi motor lalu menaiki undakan teras kafe. Tak jauh, aku sudah mencapai pintu kaca dan mendorongnya terbuka. Hembusan udara AC kontan menyemprot wajahku. Saat aku sempurna masuk, ku edarkan pandangan mencari dia.
Itu orangnya. Jauh di belakang nyaris tersembunyi. Dia serius menatap layar laptopnya entah menonton film anime atau mengerjakan tugas akhir. Ya, itulah dia. Calon progammer. Orang yang begitu familiar di hidupku. Orang yang harus mengucap penegasan yang selama ini ku tunggu. Penegasan yang akan menghentikan perdebatan dalam diriku.
Dia agaknya belum menyadari kedatanganku. Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas. Memegang erat tali tas kecilku. Aku melangkah menghampirinya. Semua ini harus cepat di selesaikan. Agar tidak ada yang sama-sama tersiksa oleh konflik dalam diri masing-masing.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3
KurzgeschichtenSelamat datang dan selamat 'mendengarkan' lagu-lagu cinta pilihan penulis dalam Coretan Melodi - The Love Playlist. Meresapi denting instrumen dan makna lirik dalam cerita di kehidupan. **** Terkadang perasaan itu kejam. Entah karena belum sepenuh...