Part 5

3 1 0
                                    

"Gimana kuliahmu?" tulisku membalas sapaan Davi yang sudah lama tidak kontakkan.

Hari baru untuk kota ini. Sebagian besar penghuni kota diam di rumah masing-masing. Wabah penyakit yang viral itu sudah memanjangkan tangannya sampai daerah tempatku tinggal. Keseharian ku tetap di seputaran kantor gudang dan kamar kos. Kalau penghuni kamar kos lain mulai ribut berspekulasi apakah mereka bisa pulang kampung atau tidak, aku tetap diam tak peduli. Rumah mana tempatku kembali? Ya diriku sendiri. Jadi, untuk mengusir kebosanan karena praktis selain kerja di gudang, aku hanya rebahan tak tentu tujuan, aku mengulang pelajaran gitarku dengan Bang Agus. Ku cari di internet lagu apa yang ingin ku mainkan. Lumayan, kadang di suatu malam kami warga sekompleks kos-kosan pernah menyelenggarakan konser ambyar menghibur nasib terkurung gara-gara pandemi.

"Tugas akhir ditunda sampai tahun depan. Jadi kebanyakan aktivitas perkuliahan dibuat online." tulis Davi.

Semakin ke sini, lidahku makin susah untuk bertanya 'kita ini apa' kepada Davi. Tanpa kenal lelah perang di kepala tetap berlanjut semakin sengit. Pertarungan antara kubu Aku Jahat dan Aku Nggak Salah rasanya tidak ada habisnya. Jadilah semakin berlalunya waktu, aku menanggapi semua sikap dan tulisan pesan Davi dengan ringisan. Pening. Ditambah lagi ada yang aneh saat aku menikmati kebersamaan ku dengan Bang Agus di sesi belajar gitar. Ada canggung dalam sunyi dan ada kikuk saat Bang Agus memperbaiki letak jariku ke posisi kunci yang benar. Malah, ada juga semangat dalam penantian sesi selanjutnya. Bagus, nggak ?! Menambah belasan simpul rumit di benang kusut bin awut-awutan yang sudah eksis di tengkorak.

"Lagi ngapain? Udah makan?" tulisku mengisi kesunyian percakapan.

"As usual. You absolutely know what! Udah nih " balasnya.

Menurut perasaanku, balasan pesan dari Davi akhir-akhir ini juga lebih singkat.

Yah, karena faktor sibuk dengan tugas akhir kuliahnya kan? aku menjawab pertanyaan ku sendiri.

Alah! Perasaan mu aja! kata yang lain

Mungkin dia mulai jenuh? jawab sisi lain lagi bersuara.

Atau kamu yang jenuh maksimal? Nah! tudingan ini malah lebih 'nyelekit' untuk ukuran asumsi sendiri.

Ku akui bahwa aku juga sering menghindari pesan-pesan Davi. Sering mangkir dan pura-pura tak melihat pesan sapaan "Hai"-nya bahkan sampai tiga hari baru direspon. Sering juga aku menyudahi obrolan lebih awal dengan alasan ngantuk . Semua itu dikarenakan alasan yang sama, aku merasa sesak oleh konflik dalam kepalaku. Setiap melihat namanya tertera, bayangan wajahnya muncul lalu diinterupsi oleh pemandangan aku yang sekarang lebih bergaul dengan Bang Agus. Tanpa dia tahu.

Aku memeluk gitar pinjaman Bang Agus. Tanpa sadar aku mulai memainkan nada-nada intro Let Her Go milik Passenger yang dua hari ini ku latih. Bagusnya lagu itu diganti jadi Let Him Go , nyinyir hatiku. Kalau Davi yang bosan sih gampang urusan. Aku bisa mengutarakan kata-kata yang sudah ku siapkan dengan lugas. To the point. Dan masalah ini terungkap lalu tinggal menghitung waktu akan selesai.

"Vi, aku boleh nggak naksir cowok lain?"

"Vi, kita ini apa sih?"

"Vi, bagimu aku itu apa?"

"Vi, aku mau jujur tentang sesuatu dan aku perlu kamu yang memutuskan..."

bla, bla, bla.

Sialnya, tidak bisa! Susah! Salah satu sifatku adalah tidak tegaan. Tidak bisa membiarkan orang yang kita sayang tersakiti. Motto yang sudah usang sekali : tidak mengapa aku yang sakit, asal jangan...

Pertemuan kembali antara aku dan Davi tiga tahun yang lalu sudah menumbuhkan asumsi sendiri dalam rasionalku. Ini pasti ada apa-apanya. Begitu juga seiring berjalannya waktu aku yakin sekali Davi ini menyukaiku. Sahabatnya sendiri. Orang yang ringan hati menampung keluh kesahnya. Mungkin itu sebabnya dia menunjukkan perasaan lewat tindakan. Nyaris jelas. Lalu saat aku pikir aku menyadarinya, aku malah berlaku terbuka. Seolah aku siap menerima dia menjadi sesuatu yang sama sekali lain. Aku memberinya harapan suatu hari nanti kami akan bersama sebagai dua sejoli sekaligus sahabat seumur hidup, padahal belum tentu aku memiliki feedback yang serupa. Dulu pernah iya. Namun tidak sekarang.

Asumsi ini memang terkesan ke-ge er-an. Memperparah simpul kusut di kepala. Belum tentu juga Davi menyukaiku kan? Davi belum pernah bilang apa-apa. Perasaan kepedean ini sama dengan sikap tidak tegaan tadi, membuat aku segan meminta klarifikasi. Takut jika Davi benar-benar punya rasa, dia akan terluka, kecewa patah hati dan aku tidak ingin itu terjadi. Jika sebaliknya, ternyata Davi tidak memiliki maksud lain kecuali menunjukkan sikap baik pada sahabatnya, aku akan menderita karena gengsi. Perasaan malu yang bisa membuatku berharap seandainya di detik itu juga bumi menelan dan memindahkanku di tempat di mana tidak ada orang lain yang mengenalku.

Sepuasnyalah aku diombang-ambingkan seperti ini. Sampai kapanpun aku akan terus maju-mundur di tempat, gerutuku yang diamini bunyi jreng sumbang akibat jemari meluncur asal di senar. Ku tenggelamkan wajah di badan gitar, pusing.

Ponselku mencicit tanda pesan masuk. Ku angkat kepalaku dengan nelangsa, mengecek pesan Davi.

"I don't wanna trust anyone. Except you, I think." tulis Davi.

Wah, ada apa nih? Ditilik dari kata-katanya, Davi seperti menyesal. Dia sedang punya masalah.

"What happened?" balasku selazimnya sahabat baik.

Perlu dua menit untuk Davi menuliskan masalahnya dan mudah ditebak, ada sangkut pautnya dengan 'cewek'.

"Kamu tahu kan, Nya, aku itu orangnya cuek dingin. Jadi ada cewek yang belakangan ini sering wara-wiri di sekitarku. Teman kampus. Dia berusaha buka percakapan panjang tapi aku tanggap pendek-pendek. Di WhatsApp dia sering chat terus padahal aku jarang balas. Jujur aja, aku awalnya nggak juga gimana tapi ngeliat kegigihan dia yang chat terus, ngobrol terus, aku jadi kasihan. Jadi pelan-pelan aku tanggapin senormal mungkin. Tapi giliran aku ngasi kesempatan, eh... dia balik cuek, Nya. Aku chat di- read doang. Kesal dong, aku."

Ku baca sekali lagi, aku masih belum ngeh. Ku ulangi pelan-pelan dan dengan seksama. Begitu aku mengerti, aku mengedutkan bibir. Apa itu? Davi uring-uringan karena diberi pembalasan dendam-- lucu sebenarnya. Setahuku ego seorang laki-laki itu susah ditaklukkan. Jadi kalau sampai bisa mengubah sedikit saja dari Davi yang ber- image dingin itu, artinya si cewek berhasil mengalihkan perhatiannya.

Kalau aku ini kekasih Davi, aku akan berkata dengan cemburu "Lho kok jadi bikin kesal kamu sih? Jangan-jangan kamu suka dia ya?"

Yang kulakukan sekarang adalah berperan sebagai sahabatnya. Tenang.

"Jadi pelajaran aja buat kamu. Makanya lain kali jangan cuek-cuek amat gitu. Santai aja. Gini aja deh, besok-besok kalau kamu ketemu dia, kamu jangan pasang muka dingin lagi. Dia itu kesal juga sama respon kamu, makanya dia balas dendam. Ikutin aja arah pembicaraannya gimana sambil kamu cari tau dia maunya apa. Dah gitu aja"

Apakah aku cemburu? Tidak. Justru aku mendenguskan tawa agak sinis. Terlepas apakah ini lewat pesan, setidaknya aku tahu bukan hanya aku yang perhatiannya dialihkan. Hari-hari yang ku lalui dengan sibuk merutuki 'gejala mendua', ku pikir perlu diakhiri segera. Membaca pesan panjang Davi ini, sedikit mulai mengurangi rasa bersalah. Mungkin memang sedari awal tidak ada apa-apa dan kalau memang seperti itu untunglah aku belum mencoba meletakkan perasaan.

Semua masih jauh dari jawaban. Aku masih belum tahu asumsi mana yang benar. Langkah yang harus ku lakukan mulai sekarang adalah mewaspadai agar perasaan ku tak dihancurkan lebih dulu.

****

Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang