Pontianak, 2014. Saat aku kelas sembilan SMP.
Aku masih termangu. Pikiranku tertawa dan bertanya-tanya dalam satu waktu yang sama. Kok bisa sih? Kok aku bisa suka sama dia? Dia yang 'itu'? Dia yang resek, hobi bicara sembarangan, senang menggoda dan pernah ku timpuk dengan sepatuku saking kesalnya. Ya ampun! Dia bahkan hanya seorang cowok yang sangat biasa. Tampan tidak juga, manis sepertinya relatif. Sikapnya? Ya, itu tadi, resek tak ketulungan. Lalu kenapa aku bisa?
Mungkin harus ada orang yang menyadarkanku segera.
"Oke, Nat, Na. Aku harus ngomong sesuatu," ujarku langsung setelah menyeret dua temanku-- Natalie dan Ana-- mojok di toilet siswi. "Dan aku perlu bantuan kalian." tambahku lagi.
"Kau kenapa sih, Van?" tanya Natalie heran.
"Oke, oke, santai, Van! Pelan-pelan bilang kau kenapa?" timpal Ana.
Namun sedetik kemudian aku hanya terbungkam. Kalimat-kalimat yang sudah ku susun serapi mungkin seketika buyar. Berhamburan di pikiran. Belum-belum mereka memberi respon, aku justru sudah men- judge diri sendiri. Otakmu ke mana sih sampai bisa-bisanya suka sama orang itu? Kau mau ngomong ke siapapun pasti cuma diketawain tahu! Begitu rutuk benakku.
"Van! Kau mau bilang 'dak ? Kalau tadak aku pergi nih." ancam Natalie gemas melihatku malah terdiam.
Akhirnya aku menyerah. Akan sia-sia usahaku menyeret dua cewek itu kalau hanya untuk dilepaskan kemudian tanpa mengatakan apa yang menggangu kewarasanku akhir-akhir ini.
"Oke..." desahku "Kalian mau ketawa setelah ini, ketawa aja semau kalian. Jadi, guys. Aku... ngerasa... kalau aku--"
Suasana menggantung selama lima detik.
"--suka sama Davi."
Yap! Kata-kata itu berhasil keluar. Ku dongakkan kepala dan menatap dua cewek ini menantang. Mempersilakan mereka menertawakanku.
Yang terjadi sesungguhnya, Natalie menepuk keras dua belah tangannya seperti isyarat kemenangan sementara Ana menyuarakan "Aha!" sambil mengacungkan telunjuknya pada Natalie. Seakan mereka gembira kalau tim sepak bola favoritnya berhasil mencetak gol cantik.
"Aku tahu pasti kau bakalan suka juga sama dia," cetus Ana.
"Yah, aku juga udah ngira kalau Vanya pasti akhirnya jatuh cinta sama Davi." Natalie mengamini.
Aku ternganga. Tidak menyangka jika tanggapan mereka jauh lebih-- eh... -- oke dibandingkan perkiraan awalku. Aku pikir mereka akan tertawa kaget lalu mengejek sebangsa "Aduh, Vanya! Seleramu turun drastis ya." atau "Ya Tuhan, Nya! Ada apa denganmu? Aku antar ke dokter mata, yuk." Alih-alih, ini yang terpampang. Mereka sama sekali tidak kaget dan sama-sama tersenyum memaklumi.
"Kalian tak ketawa?" tanyaku retoris.
"Eh, ngapain kami ketawa? Wajar kan? Sumpah, ya, kami tuh tak terkejut kalau saatnya tiba kau bilang suka sama Davi kayak tadi. Kami udah tahu. Udah ngerasa." ujar Natalie.
"Ta.. ta-tapi, masa iya?"
Harusnya mereka yang bertanya seperti ini bukan aku.
"Lho kenapa?" Ana menanggapi "Normal kali kamu suka sama Davi. Emang sih dia punya pacar. Tapi perlu kamu tahu juga, Nya, Davi udah lama merhatiin kamu. Kami cukup sadar kalau Davi suka sama kamu."
"Ya iyalah! Yang sekelas sama Davi kan kami." timpal Natalie.
"Yang akan mengherankan kami adalah kamu, Nya. Kamu udah lama temanan sama Davi. Lebih lama dari kami malah. Kamu udah sering jalan sama Davi. Aneh kalau kamu sampai tidak timbul rasa suka atau minimal peka deh sama sikap Davi terhadap kamu." tambah Ana kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3
Historia CortaSelamat datang dan selamat 'mendengarkan' lagu-lagu cinta pilihan penulis dalam Coretan Melodi - The Love Playlist. Meresapi denting instrumen dan makna lirik dalam cerita di kehidupan. **** Terkadang perasaan itu kejam. Entah karena belum sepenuh...