Kata teman-teman kerjaku, seorang kepercayaan manager CV senang memperhatikanku. Cowok itu dua tahun lebih tua dariku. Kerja di situ juga, jam kerjanya sama tapi orbitnya bukan di kantor. Lebih seringnya Bang Agus --itu namanya-- berkecimpung di lapangan. Kadang ikut truk pengangkut supplier, kadang pergi entah ke mana, sering juga menempelkan ponsel di telinga; mondar-mandir dan/atau menginstruksikan sesuatu ke pekerja di gudang. Kuli tentu bukan. Namun dia juga terlihat paling sibuk.
Sesering apa pun teman-teman menginformasikan itu padaku, aku tidak terlalu mempedulikannya. Karena aku belum melihatnya langsung. Menurutku, sikap Bang Agus itu biasa saja. Dia mendekatiku jika ada perlu, meminta catatan keluar-masuk barang misalnya. Cara bicaranya juga biasa. Memperhatikan lawan bicara dengan penuh konsentrasi. Mereka itu yang tidak biasa. Setiap Bang Agus mendekat untuk meminta sesuatu, mereka pasti sengaja berdeham kuat-kuat.
"PDKT, Gus?" tegur Cici Fidel penuh humor.
Pernah pula salah satu kuli bersiul menggoda. Saat ku lirik ekspresi Bang Agus, dia hanya tersenyum miring.Suatu hari di jam istirahat siang, aku minta izin Cici Fidel untuk keluar makan siang. Cici Fidel menyetujui dan selanjutnya segelintir karyawan perempuan termasuk Cici Fidel menyerukan titipan pesanan. Aku sedang mengonfirmasi ulang pesanan mereka ketika dari pintu kantor, Bang Agus merangsek masuk.
"Siapa yang katanya mau jajan keluar?" katanya.
Ladies di dalam ruangan pun terdiam menatap si pendatang baru. Aku berbalik menghadap orang yang tepat berada di belakang punggungku.
"Aku, Bang. Kenapa?" jawabku.
"Sekalian, Van. Abang mau ikut."
Aku menggugamkan oke dengan lirih, sementara para cewek ini ada yang terkikik menggoda. Duh! Menyebalkan sekali.
"Oke deh Vanya, itu jak . Jangan lama-lama ya, Gus. Vanya-nya jangan dibawa kelayapan ke mana-mana lagi. Nanti aku lapor Bos, lho." ujar Cici Fidel lagi-lagi dengan intonasi jenaka. Serentak cewek-cewek lain mengamini ucapan leader mereka dengan terkikik lebih nyaring. Nyaris seperti kuntilanak.
Ku lihat Cici Fidel, dia terus mengedipkan sebelah matanya padaku. Menggoda. Otomatis aku menjadi kikuk dan sialnya Bang Agus hanya terkekeh ringan.
"Yuk, Van!" ajak Bang Agus mengeluarkan aku dari situasi yang amat menyebalkan ini.
Ketika kami sempurna keluar pintu kantor pun, sayup-sayup masih terdengar lengking tawa nakal. Mungkin itu Vita.
"Pakai motor abang jak ya? Bensin Vanya pas-pasan untuk balek nanti sore." ucapku lebih untuk mengusir perasaan kikuk.
Bang Agus menyambar sebuah kunci dari sakunya dan menggoyangkannya di udara.
" Ck! Gampang lah, Van. Tak masalah," sahut Bang Agus sembari mengedipkan sebelah matanya. Dihadiahi kedipan itu aku justru menunduk cepat, seolah ada yang menarik dari sepatuku.
Tempat tujuan kami adalah rumah makan padang. Agak susah juga untuk order karena pesanan rekan-rekanku nyaris tidak ada yang seragam. Ada yang mau nasinya diberi inilah, ada yang request itulah, ada yang tidak mau pakai apalah, pokoknya berbagai kombinasi. Bang Agus sedari tadi masih diam, mengalah untuk pesan belakangan.
"Nasi siapa tuh, banyak cabe ijo-nya?" tanya Bang Agus akhirnya bersuara.
"Aku, Bang."
" Wuih! Tahan, Van? Hobi pedas rupanya, pantas mukanya agak galak," celetuk Bang Agus yang direspon oleh kekehan pelayan dan dengusan tawaku. Lagi-lagi menunduk malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3
Short StorySelamat datang dan selamat 'mendengarkan' lagu-lagu cinta pilihan penulis dalam Coretan Melodi - The Love Playlist. Meresapi denting instrumen dan makna lirik dalam cerita di kehidupan. **** Terkadang perasaan itu kejam. Entah karena belum sepenuh...