Part 7

0 0 0
                                    

I don't know can we stay like this
for a long ages
[Guy(s), L.U. 16/04/2020]

I can't stay, do I have to give a reason?
It's just me, what I want
[Taggart & Stella]

Davi berjarak dua meter dariku saat ini. Cowok itu masih fokus dengan layar laptopnya, belum menyadari keberadaanku. Ekspresinya datar, mungkin sedang menonton film anime. Berapa waktu yang sudah memisahkan aku dan Davi sejak terakhir kali aku bertemu dia bersama Cewek Itu? Sebulan? Lebih? Yang jelas tidak mengubah banyak tampilan Davi. Besar, rambutnya ikal, kulitnya agak terang dan pandangannya yang redup. Berapa masa yang sudah kami lewati bersama? Tujuh, delapan tahun? Dari perawakan remaja sampai kami sama-sama dewasa, perubahan itu nyaris tak kami rasakan karena dilalui bersama-- efek ketergantungan yang kuat satu sama lain. Berapa cerita yang sudah kami rangkai, miliki dan dibagi? Aku menghela napas. Banyak. Banyak sekali. Selepas ini aku hanya berdoa semoga persahabatan lama kami tetap terjaga secara dewasa.

"Vi,"

Sejak dulu aku selalu suka menyapanya dengan depot bunyi dari namanya. Dua huruf. Hanya dua huruf saja. Agar dia tahu siapa yang memanggilnya bila ia tenggelam di tengah kerumunan massa. Agar ia tahu ke mana dia harus melangkah jika ia membutuhkan teman. Sampai sekarang, panggilan itu efektif. Kalau dia mendengar dua huruf itu disuarakan, dia selalu mengarah padaku. Kamu adalah sahabat terbaikku, Nya. Orang yang paling mengerti aku.

Davi mendongak cepat dan seketika itu ia terpaku. Tontonannya diabaikan. Aku tahu ekspresinya itu melukiskan ketakjuban, kelegaan atau kerinduan, tapi yang dilakukannya kemudian adalah dia keluar dari lindungan meja dan kursi, maju dua langkah, lalu tanpa kejutan membenamkan dalam pelukannya. Ku pejamkan mataku. Seandainya rasa pelukan ini bisa ku raup dan disimpan ke dalam toples. Mengingatnya baik-baik, detik per detik agar suatu hari ku kenang sebagai : "Hei, ini Davi, sahabat tanpa pamrih yang bersedia ada untuk aku dan ikut memeluk kegelisahanku.

"Mukamu pucat, Nya. Sakit? Atau kerja terlalu keras di gudang?" tanya Davi begitu dia menyudahi pelukan. Intonasinya penuh kekhawatiran.

"Nggak kok. Aku nggak papa," jawabku sembari mengerutkan dahi. Kenapa pula ia mengira aku sakit?

Davi diam selama lima detik.

"Jangan-jangan kamu pasien covid-19 yang tersisa dan kabur dari rumah sakit ya?" tiba-tiba Davi nyeletuk asal dan kurang ajar.

Plak!

Aku menampar lengannya kesal. Davi kontan mengaduh dan tertawa. Penyakit lama Davi, senang usil. Di tengah derai tawanya dia meminta maaf dengan suara yang dibuat sok menyesal padahal ia menikmati gurauannya itu. Aku berkacak pinggang, melotot marah tapi tak lama karena derai tawa Davi menular.

"Gimana tugas akhirmu?" aku membuka obrolan begitu kami sudah nyaman di kursi masing-masing. Pertanyaan itu menggantung sebentar karena pelayan yang datang mencatat pesanan.

"Dapat judul aja belum. Masih mikir-mikir,"

Dahiku berkerut entah untuk ke berapa kali. Dari nada bicara Davi ini terdengar nelangsa dan frustasi. Sebelum aku dapat bertanya ada apa, dia melanjutkan.

"Masalahnya pikiran ku lagi sumpek. Aku jadi sering nggak konsen."

Firasatku berkata kalau Davi juga mengalami hal yang sama denganku. Banyak pikiran, khusus untukku ada setumpuk benang kusut masai tentang Davi dan kenyataan yang ku rasakan. Kontradiksi yang hampir memicu korsleting di otakku. Ternyata di sini tak hanya aku seorang yang menyimpan kepelikan batin.

Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang