"Ada yang beda dari kita," tulis Davi.
Yah, memang. Aku yang lebih sering kucing-kucingan menghindarimu, ucapku dalam hati. Aku melongok keluar jendela kamar kos. Pemandangan yang tampak hanya kelam dilengkapi soundtrack dari jangkrik dan kodok di selokan memanggil hujan. Sepi sekali sejak pemerintah dengan tegas menyuruh stay at home, yang bagiku adalah mendekam di lingkungan kos. Kesepian itu sangat terasa untuk ukuran daerah kos yang biasa dilalui komuter mencari jalan pintas menuju kota lain.
Lebih sering kucing-kucingan? Aneh ya! Padahal dulu aku sering mencarinya, membutuhkan telinganya, memerlukan kehadirannya untuk mengurangi kegalauan. Sekarang aku justru galau karena dia ada. Lebih tepatnya galau karena konflik kepala yang seperti tak berkesudahan dan itu dipicu oleh dia. Jujur saja, aku juga sudah lelah setiap Davi 'berbaik hati' mengontakku tapi aku abaikan. Mau bagaimanalah? Aku perlu mengabaikannya karena setiap pesannya muncul, wajahnya juga ikut muncul di pikiranku dan perasaan serba salah itu juga nimbrung. Bela-belain Davi memberiku perhatian khusus lalu apa balasanku? Menikmati kebersamaan dengan cowok lain. Memang sih perasaan itu tak bisa dipaksa harusnya Davi yang mengerti. Masalahnya, Davi itu sahabatku. Secara kemanusiaan aja deh, tega tidak kamu menyakiti hati temanmu sendiri? Apalagi memberi harapan kosong terlebih dulu. Jahat sudah itu namanya!
Well, kubu Aku Jahat menang.
"Beda apa? Kamu tambah resek maksudnya?"
Untung hanya lewat pesan, jadi Davi tidak bisa melihat ekspresi hambarku.
Davi membalas dengan kata-kata tawa lalu sok tersinggung karena dikatai resek.
Tolong jangan mendesakku untuk bicara hal itu pada Davi. Kamu tidak tahu bagaimana susahnya. Akhir-akhir ini Davi tidak pernah menyebut cewek tempo hari itu lagi padahal aku berharap benar kalau peran cewek ini bisa memuluskan usahaku untuk membicarakan keganjalan yang selama ini aku tanggung. Namun dengan ketiadaaan sosok itu, malah menambah ketar-ketir menyebalkan di dada.
"Nya, aku merasa bingung banget. Bingung sama perasaan ku sendiri."
****
Bang Agus pernah berjanji kalau aku sudah agak jago main gitar, dia akan mengantarku ke toko alat musik. Dan di sinilah kami berada. Mataku berbinar dan jariku gemetar menelusuri setiap detail kontur gitar berwarna coklat pekat seperti pohon. Gitar ini biasa saja, bahkan second hand --bekas-- tapi masih bagus dan mulus. Untukku tak perlu yang baru, yang penting aku bisa merayakan prestasi baruku dan seterusnya tetap bermain, menyatukan diri dalam harmoni.
Aku mendongak, menatap Bang Agus di sampingku. Lewat mata dan senyuman aku mengatakan kalau aku suka gitar ini dan aku mau yang ini. Bang Agus balas tersenyum lalu giliran dia yang meneliti gitar itu senti demi senti. Memastikan apa yang cacat.
Transaksinya tidak lama, mungkin dengan beberapa kali Bang Agus menawar, toh benda sakti itu akhirnya berpindah tangan.
"Ini dia untuk The New Taylor Swift, " kata Bang Agus sambil memanggulkan tas gitar ke bahuku. Aku tertawa pelan, senang.
Aku dan Bang Agus sedang berjalan menuju parkiran untuk pulang, tidak sabar untuk check sound gitar baru di kos. Sepanjang jalan, bibirku tak berhenti tersenyum lebar persis anak umur lima tahun yang dibelikan mainan baru. Bang Agus sampai gemas merangkul bahuku.
Dering ponsel terdengar menginterupsi kesenangan. Kami saling berpandangan bingung mengira-ngira dari mana asal dering ponsel itu. Akhirnya Bang Agus merogoh sakunya dan suara itu memang berasal dari sana. Bang Agus permisi untuk menepi sementara aku tetap di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Melodi - The Love Playlist Volume 3
Short StorySelamat datang dan selamat 'mendengarkan' lagu-lagu cinta pilihan penulis dalam Coretan Melodi - The Love Playlist. Meresapi denting instrumen dan makna lirik dalam cerita di kehidupan. **** Terkadang perasaan itu kejam. Entah karena belum sepenuh...