empat

634 73 4
                                    

"No, lo gak nyesel kan?" Gue menatap Nino yang sekarang hanya menatap langit-langit kamar. Entah mengapa, gue sangat merasa bersalah karena telah merenggut keperawan pantat dia.

"I dont know." Jawabnya tanpa memalingkan pandangnya ke arah gue.

"Jangan buat gue merasa bersalah."

Dia diam sejenak, "menurut lo gue akan menyesal dengan apa yang lo berikan ke gue?" Tanyanya yang gue jawab hanya dengan mengangkat bahu, no idea.

"So...." yakin gue, gue ingin mendengar bahwa ia tak menyesal, dengan begitu, gue merasa gak bersalah lagi.

Dia memalingkan wajahnya ke arah gue, menarik senyum yang gila, senyumannya manis banget. Jantung gue tiba-tiba berdegup kencang. Apa-apaan ini? Apakah gue jatuh cinta sama dia?

"Lo gak salah dan gue gak nyesel." Ucapnya.

Gue tersenyum lega, kemudian mengajukan satu permintaan lagi kepadanya.

"No, boleh gue peluk?"  Seharusnya dengan gue udah peliin dia samsung S22, permintaan gue gak berlebihan.

Ia mengangguk, meski lama juga gue menunggu anggukan itu. Gue kemudian memeluknya, bisa mencium wangi tubuhnya.

Gue suka wangi tubuhnya meski seharusnya wangi itu sumbernya dari sabun yang gue punya. Tapi entahlah, dipakai sama dia, baunya jadi beda.

"Ga papa yah? Gue mau tidur entar doang. Capek." Gue makin mengeratkan pelukan gue.

"Gue juga capek." Balasnya dan akhirnya kami tidur dalam kondisi gue memeluknya. Gue serasa tak jones lagi sekarang, ada tubuh Nino yang gue peluk sebagai pengganti bantal guling. Yah walaupun ini hanya berlangsung hanya belasan menit saja. Kami kemudian terbangun karena seseorang mengetuk pintu apartemen gue.

Semoga saja itu hanya kurir, gue berharap bukan lagi kunjungan dadakan emak-bapak gue, atau teman gue yang kadang datang tanpa ngasih kabar.

"Siapa?" Tanyanya terlihat panik.

"Kurir mungkin." Gue berusaha tenang walau sebenarnya gue juga panik.

Gue keluar dari tempat tidur, mengambil pakaian di lemari yang tak lupa mengambilkan juga sepasang baju untuk Nino pake.

"Nih baju buat lo. Seharusnya ukuran kita sama aja kan?" Gue memberinya sepasang baju kaos dan celana pendek untuknya.

Gue memakai baju lalu keluar dari kamar, membukakan pintu kepada orang di luar apartemen gue. Ternyata memang hanya kurir, abang ojol pengantar makanan. Gue bisa bernafas lega lalu menerima pesanan itu.

"No, makanan lo udah sampe." Gue memanggil Nino yang masih di dalam kamar.

Apartemen gue kecil, cuman ada satu kamar, living room dan kitchen. Tapi bukan tipe studio juga, kamar gue masih terpisah dengan living roomnya. Disamping living room juga ada balkon yang viewnya langsung ke jalan raya.

Walau di apartemen gue ada kitchen, sekalipun gue gak pernah make kitchen itu. Gue gak bisa masak, sama sekali tidak bisa. Gue pernah goreng telor, malah kecipratan minyak dan hasilnya pun gosong gak bisa di makan. Kalo soal masak mie, seharusnya bisa, tapi gue gak suka makan mie. Bukannya gak suka sih, gue suka asal bukan mie instan aja. Gue alergi sama bumbu mie instan, atau mungkin apapun yang micinnya banyak. Badan gue akan bentol-bentol merah dan gatel. Gue gak sembarang makan makanan, apalagi jajanan pinggir jalan. Sedari kecil, gue lebih seneng makanan emak gue yang emang selalu less micin. Walau jauh dari emak gue, setiap malam pasti gue dikirimin makanan dari rumah pake ojol.

Nino akhirnya keluar dari kamar, menggunakan pakaian yang gue pilihin tadi. Kaos oversize berwarna pink cerah dan celana basket berwarna putih hitam. Ia nampak gak confident dengan pakaian itu, but gue melihatnya dia cakep bener make baju itu.

Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang