Gue tidur di pangkuan Nino, menyilangkan tangan di depan dada sembari terus menatapnya dengan senyuman gue yang terus terkembang. Kami masih berada di living room, duduk di depan tivi menikmati waktu berduaan kami yang serasa gue sendiri belum percaya, di depan gue adalah Nino, dia yang telah gue cari dalam kurun waktu sebulan ini. Gue gak nyangka, dia sekarang adalah pacar gue. Gue gak nyangka jika dia lebih memilih gue daripada pacar jalangnya yang gue temuin di kosan tadi.
Oh iya, gimana yah kabar pacar jalangnya itu?
"No..." Gue memanggilnya yang kemudian ia menunduk menatap gue sambil alisnya terangkat. "Jadi gimana pacar jalang lo?"
Nino menatap gue tajam saat gue bilang pacar jalang, gue juga gak sengaja bilang kek gitu. Mungkin karena udah biasa gue menyebutnya pacar jalang di benak gue, sehingga kelepasan keluar dari mulut gue. Tapi kok dia marah? Apa mungkin, gue hanya akan dijadikan selingkuhannya dia?
"Maksud gue, cewek lo." Gue memperjelas.
Nino masih tetap menatap gue tanpa berkata-kata.
"Menurut lo akan bagaimana hubungan gue sama dia setelah lo cium gue di depan dia?" Tanya Nino yang membuat gue harus memutar bola mata, berfikir sejenak. Pada akhirnya gue gak tau juga jawabannya.
"Maybe gue hanya lo jadiin selingkuhan doang." Jawab gue rada ngambek, gue memutar badan ke arah tivi dengan wajah cemberut. Gue gak rela banget yah kalo gue hanya dijadiin selingkuhan doang.
Nino membungkuk, menempelkan bibirnya di pipi gue yang telah cukup mengusir kecemberutan gue. But, gue masih pura-pura cemberut untuk sementara.
"Emang lo rela dijadiin selingkuhan?" Tanyanya.
Gue langsung bangun, duduk bersila menghadap ke arahnya. "Ingat yah, gue gak mau di duain. Kalo lo sekedar mau jadiin gue selingkuhan doang, mending lo pulang aja sekarang!" Ucap gue serius, tatapan gue tajam, pipi gue sedikit menggembung.
Nino tersenyum melihat keseriusan gue dan mungkin bagi dia, ekspresi gue lucu di matanya. Dia mencubit pipi gue yang menggembung.
"Gue gak akan selingkuhin elo, pacar Nino cuman satu, Bastian." Ucapnya bermulut manis menggombal gue, memperlakukan gue terdengar seperti gue ini uke-nya dia. Kebalik No!
Nino tersenyum, kepalanya kemudian lambat laun bergerak ke arah, hingga ciumannya berlabuh di bibir gue. Ciuman singkat, tapi entah mengapa rasanya teramat manis, seolah itu ciumannya yang paling manis menyentuh bibir gue.
"Pantat lo lebih menggoda daripada dia." Bisiknya yang membuat gue bergidik sejenak lalu dengan refleksnya, gue menendang Nino hingga ia jatuh dari sofa.
"Weh, sakit!!!" Keluhnya. Gue ingin membantunya bangkit but kalo gue lakuin, dia mungkin akan merasa bahwa dia beneran seme.
Dia bangun sendiri, duduk kembali di dekat gue yang sekarang memasang wajah cemberut.
Nino mencoba merayu gue, mendekati gue dengan tangannya yang menyentuh pipi gue. Bukan sentuhan biasa, sebuah belaian sensual yang sekiranya bisa meluluhkan gue.
"jangan tergoda Bas, jangan tergoda. Tunjukin kalo lo itu seme." Gue terus bergumam dalam hati, ingin banget gue mengelak, tapi bagaimana bisa? Gue udah lama menunggu moment ini.
"Bukankah lo pernah bilang, lo udah relain pantat lo di tusuk sama gue?" Ucapnya lirih yang masih terus menyentuh pipi gue.
"Ka..kapan?" Tanya gue sedikit gagap, gue gak mengingat pernah mengatakan itu kepadanya.
"E..ehm." Nino berdehem kemudian menirukan suara gue. "Ya kali, gue udah relain pantat gue lo bobol, minta segitu pula."
Anyingg, ternyata dia masih ingat, persis banget lagi cara gue ngomong ke dia ekspresinya.