Malam pun datang, hawa dingin khas pegunungan mulai terasa di luar sana. Kabut-kabut mulai menyelimuti tiap-tiap sudut dari kebun teh yang sunyi ini. Di kejauhan, samar-samar cahaya lampu dari pemukiman warga terlihat di tengah gelapnya malam.
Meski di tengah kegelapan malam, vila megah ini tampak bercahaya dengan puluhan lampu yang terpasang disetiap sudutnya. Di aula lantai dua, semua orang sudah kembali ke kamarnya masing-masing yang ada di lantai tiga. Menyisakan Yohan yang kini duduk berdua bersama El.
Mereka minum segelas anggur sambil duduk santai, bersandar di sofa yang empuk. Mata Yohan sesekali melirik ke arah pria botak itu. Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Pertanyaan yang harus ia tuntaskan dengan jawaban.
“Silahkan,” ucap El.
“Hah, apa?” Yohan bingung.
“Mau tanya apa? Tanya aja.”
“Gimana caranya anda tau? Kan—“ Yohan terdiam. Dia sadar kalau El memang bukan manusia biasa. “Oke, aku izin bertanya. Sebenarnya aku di sini untuk apa? Aku kira, aku mau dibunuh dan dijual.”
El menggeleng dan menatap Yohan. “Kamu di sini untuk diselamatkan dari kehidupan yang kejam. Di sini, kamu bisa hidup tenang. Apa yang kamu mau, pasti akan bisa kamu dapat. Semua rasa sakit yang kamu rasakan, semua akan hilang. Hiduplah dengan bahagia di sini, bersama kami”
“Sebenarnya kalian itu apa?”
“Kami adalah keluarga, yang dipersatukan oleh Tuan Palaroth.”
“Palaroth? Siapa dia?” Yohan penasaran, ia membenarkan posisi duduknya dan menatap El dengan serius.
“Dia adalah juru selamat. Salah satu dari sekian banyak tangan kanan Satan. Dia akan mengembalikan kemuliaan, kehormatan yang telah hilang dalam diri manusia yang tersakiti oleh takdir.”
Yohan pun mulai bergidik, sedikit takut mendengar penjelasan barusan. Ia terdiam sejenak, sementara El terus menatapnya. Menunggu pria berkumis itu merespon penjelasannya barusan.
“Kalian menyembah Palaroth dan Satan?” tanya Yohan.El pun menggeleng. “Bukan, kami tidak menyembah. Kami mengikuti petunjuknya, bagi kami Palaroth dan Satan adalah sang penyelamat yang kami hormati. Pemberi arah di saat kami tak tahu harus jalan ke mana.”
Yohan pun mulai ragu, ia menunduk dan berpikir. Sedikit ada rasa takut dalam dirinya. Meski begitu, ia juga merasa nyaman di tempat ini. Orang-orangnya ramah di sekelilingnya, makanan enak, semuanya bisa ia dapatkan di sini. Apa lagi yang kurang.
Kemudian tangan El memegang dagu Yohan, lalu mengangkat kepalanya yang semula menunduk. Mereka saling bertatapan, pria botak itu pun tersenyum. “Kenapa menunduk begitu Yohan?”
“Pernahkah kamu berpikir? Kenapa kamu merasa menderita? Kenapa kamu merasa sakit? Semua kemalangan dan kesengsaraan itu salah siapa?” tanya El.
“Siapa?”
“Tuhan!”
“Hah?”
“Tuhanlah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padamu, Yohan. Sejak awal ia menciptakan kita, ia sudah mempersiapkan semua ini. Kita diciptakan tanpa kemauan kita sendiri, kemudian kita dipaksa menjalani kehidupan konyol dan segala macam penderitaan yang ia buat sendiri.”
Yohan menatap mata El dengan serius. Seakan terbius dengan penjelasannya, kata-katanya dan kalimat pria botak itu meresap ke dalam hati Yohan. Membuatnya menjadi sedikit emosional dan teringat akan kehidupannya yang amat berat di luar sana.
“Selama ini kita hidup dalam kebohongan yang dibuat oleh kitab-kitab dan para pemuka agama. Jangan mau dibodohi, Yohan. Tuhan sedang mempermainkan kita, ia tertawa ketika kamu terpuruk!”
El pun kembali mengambil gelas anggurnya, meminumnya sedikit lalu duduk bersandar di sofa sambil menghela nafas. Tangannya ia taruh di sandaran sofa yang panjang sambil menatap lurus ke depan. Mulutnya siap bicara kembali.
“Kamu tau salah satu kebodohan orang-orang beragama? Mereka terbuai akan janji yang diberikan Tuhan. Mereka merasa mencintai Tuhan yang menciptakan mereka, beribadah dengan berharap surga dan menghindari neraka. Sekarang pertanyaannya, kalau surga dan neraka itu tidak ada masihkah mereka beribadah?”
“Entahlah,” gumam Yohan.
El menuang sebotol anggur ke dalam gelas miliknya. Ia juga turut mengisi gelas yang ada di tangan Yohan. “Ah, cukup!” kata Yohan saat gelasnya hampir penuh.
El menaruh kembali botol anggur itu. “Di saat Tuhan sibuk memberikan janji, Satan datang memberi bukti! Kamu akan merasakannya sendiri, Yohan.”
“Apakah kamu pernah berjumpa dengan Palaroth?”
Pria botak itu menangangguk. “Bukan hanya aku, kami semua pernah berjumpa dengannya. Palaroth adalah sosok pemurah, dia datang setiap kali kami melakukan ritual pemanggilan.”
“Pertanyaanku yang terakhir, apa tujuan dari kelompok ini?”
“Tujuan kami. Tujuan kami adalah mengembalikan kemuliaan dan kehormatan yang telah hilang, tentunya dengan jalan yang Satan berikan. Hanya itu, Yohan. Hanya kemuliaan hidup yang kami cari di sini.”
Yohan pun mengangguk dan mulai paham. Ia meminum anggurnya sampai habis, lalu menaruhnya di bawah sofa karena tidak ada meja di aula ini. Ia melihat sekitar dan mulai meregangkan badan. “Aku ngantuk.”
“Tidurlah, kamarmu di bawah.”
“Iya, kenapa hanya aku yang tidur di bawah? Kenapa mereka di lantai tiga?”
“Siapa bilang hanya kamu? Aku dan beberapa anak buahku juga tidur di lantai bawah. Lantai tiga sudah penuh.” El lalu menenggak anggurnya sampai habis. “Ayo turun,” ucapnya yang kemudian berdiri dan merapikan jubah hitam yang dipakai olehnya.
Mereka berdua lalu mulai berjalan ke arah pintu keluar, kemudian mulai menuruni tangga menuju lantai bawah. Selama perjalanan menuju kamar, El terus bicara dan menceritakan mengenai kelompoknya ini.
“Tenang saja, Yohan. Bersama kami, kamu akan aman. Tidak ada penghakiman di sini. Tidak ada salah dan benar di sini, karena kebenaran pun tak akan ada tanpa adanya kesalahan. Semua saling melengkapi, bodohnya para orang-orang beragama adalah mereka selalu melihat perbedaan sebagai hal yang dapat memicu pertengkaran. Selalu merasa benar sendiri.”
“Aku setuju sama kamu!” ujar Yohan.
“Benar, kan? Bagi kami para pengikut Palaroth, perbedaan adalah keindahan. Pelangi bisa indah karena warnanya berbeda. Yohan, kamu lebih pilih nonton TV hitam putih atau TV berwarna?”
“Tentu berwarna!”
“Nah, itu dia! Hidup dengan pikiran hitam putih tidaklah indah. Kita harus melihat perbedaan dari sisi lainnya.”
Tak terasa, mereka pun sampai di depan kamar. Dengan ramah, El membukakan pintu dan mempersilahkan Yohan masuk. “Silahkan.”
“Terima kasih.” Yohan pun masuk ke dalam kamar.
El masih berdiri di ambang pintu sambil memperhatikannya. “Tenang saja, di sini tak ada yang menghakimimu. Tak ada yang menyalahkan dan mengungkit masa lalumu. Kami semua saling merangkul.”
“Terima kasih sekali lagi,” ucap Yohan.
“Kuharap kamu betah bersama kami.” Sambil tersenyum, pria botak itu pun menutup pintu.
Yohan pun segera membaringkan dirinya di kasur yang kecil namun empuk. Ia taruh kepalanya di bantal dan mulai memejamkan mata. Dan dalam beberapa menit, ia pun tidur dengan mudahnya. Masuk ke alam mimpi yang indah.
.
.
.Pelan-pelan ucapan El mulai mempengaruhi Yohan. Akankah Yohan terbuai? 💀
Simak kelanjutannya!
Vote dan komen dong kk :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ave Satanas (Terpujilah Setan) [TAMAT]
HorrorDi tengah kehidupannya yang sulit, Yohan bertemu seorang pria misterius bernama J yang terus mengikutinya. J membuat tanda di dahi Yohan. Sebuah tanda yang akhirnya mengantarkan Yohan ke sebuah sekte pemuja setan paling berbahaya di dunia. Akankah...