Papa mengantar aku ke Balai Desa hari ini. Papa nggak bisa ikut acara penyuluhan karena ada tamu dari Semarang, alhasil aku di Balai Desa hanya ditemani Lila.
Dengan membawa boneka little dugongnya, Lila masuk ke Balai Desa bersamaku. Ketika memasuki aula, sebagian kursi sudah terisi. Aku berhenti sejenak untuk mencari posisi duduk yang nyaman.
Tak sengaja aku menemukan Ayash, dengan seragam cokelatnya sedang sibuk di sebelah podium berjongkok menggulung kabel.
"Itu Ayah Lila," ujarku pada Lila yang sibuk membuka bungkus wafer yang tadi aku belikan.
"Ayah kerja," balas Lila sambil menatapku polos.
Baru saja aku hendak mengambil bungkus wafer untuk aku bukakan, tiba-tiba seseorang sudah mengambil bungkus tersebut.
Wah ada koko-koko chinese di sini.
Seseorang dengan perawakan putih, tinggi, kurus berdiri di sebelah Lila sambil berusaha membukakan bungkus wafer.
"Jangan suruh kerja terus La. Nangis kek sekali-sekali, biar Ayahmu panik." Laki-laki tinggi itupun memberikan wafer yang sudah dibuka itu kembali kepada Lila.
"Terima kasih." Lila berterima kasih kepada orang asing itu tanpa menyebut nama.
Berikutnya laki-laki itu malah menggendong Lila menuju kursi di sayap kiri. Lila kelihatan tidak menolak, ekspresinya juga biasa saja. Sepertinya Lila kenal dengan orang itu.
Aku yang nggak mengenal laki-laki tinggi dengan kulit sangat putih itu hanya mengekor, dan kemudian duduk di sebelah Lila yang sudah ia dudukkan di kursi. Setelah mendudukkan Lila, barulah laki-laki itu menoleh ke arahku.
"Mbak siapa?" tanyanya padaku.
Aku bingung harus menjawab anak siapa atau bagaimana. Jadi kujawab saja, "Tetangga samping rumah Dani. Ana-"
"Oh... Ya, ya, ya. Ngerti. Yang baru balik dari Jakarta itu?"
"Iya. Sisi." Aku memperkenalkan diri.
"Mas Jepri! Dengaren mrene?! Ora ameh gelut to?"
(*Mas Jepri! Tumben ke sini?! Nggak mau berantem kan?)
Suara berisik Siti tiba-tiba terdengar di sampingku. Waktu aku mendongak, ternyata Siti sudah berdiri di sampingku dengan rantang dan tas pesta di tangannya.
Aku kembali dibuat tak nyaman dengan penampilannya hari ini. Siti memakai dress warna kuning dengan tas pesta warna hijau neon, kemudian di bagian kaki ada flat shoes warna merah.
Bikin sakit mata plis!
Siti menatapku sekilas dengan pandangan sinisnya, lalu duduk dengan kasar di sebelahku.
Idih. Jauh-jauh lo udik!
"Lah, Sit? Nangkene golek opo?"
(*Lah Sit? Di sini cari apa?)
"Cari ilmu lah, Mas Jep! Sekalian mau kasih ayam semur buat Mas Ayash."
Jepri, laki-laki yang tadi dipanggil Siti langsung berdecak pelan.
"Koyo ra eneng lanangan liyane. Huek," ejek Jepri.
(*Kayak nggak ada cowok lainnya aja. Huek.)
"Ketimbang udur rebutan wedokan karo bolo dewe?" balas Siti dengan entengnya.
(*Daripada berantem rebutan perempuan sama temen sendiri?)
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...