Freak-Tective Part 2 : Gone

92 2 0
                                    

"Meskipun ini mobil tua, mobil ini kuat. Dia sudah menemaniku memecahkan berbagai kasus di Jakarta ini." ucapku sambil mengetuk - ngetuk kap mobil tuaku ini.

"Aku tahu, ayahku juga punya satu yang seperti ini. Tapi mungkin berbeda tahun dan serinya. Aku kurang paham hal seperti ini."

"Nanti kita lihat jika sudah sampai rumahmu."

Kubukakan pintu depan sebelah kiri untuk Ashel masuk ke dalam mobil. Ku susul dia dari kursi pengemudi. Setelah semua siap dengan barang masing - masing, aku mulai mengeluarkan mobilku dari tempat parkir. Maklum, rumah susun hanya memiliki satu parkiran luas di bagian basement. Aku sudah mengetahui di mana rumah Ashel karena sebelumnya aku sudah pernah ke sana mengerjakan tugas kelompok. Suasana yang sayu diiringi matahari tenggelam membuatku larut dalam perjalanan hingga aku lupa untuk apa aku mengendarai mobil ini.

"Hey, jangan melamun, kau sedang menyetir." ucapnya sambil menepuk kecil pundakku.

Ucapannya itu membuyarkan lamunanku. Oh ya, benar, aku harus mengantarnya pulang. Dia tak boleh pulang sendirian, terlalu berbahaya untuknya.

"Omong - omong, bagaimana dengan regulasinya? Maksudku, tentang bagaimana kita menghadapi situasi ini?" tanya Ashel.

"Pertama, kau tak boleh menghilang dari jangkauanku, kau harus selalu bisa kulihat. Kedua, tak boleh ada rahasia, kau harus sepenuhnya jujur padaku agar aku-"

"Tunggu sebentar." ia menyela. "Apa maksudmu harus sepenuhnya jujur?" raut wajahnya berubah tak terima sekaligus penasaran.

"Aku pernah mengatasi kasus seperti ini sebelumnya. Maksudku adalah jika kau tidak jujur, bisa saja kau menghilang sebentar dari pengawasanku, lalu kembali padaku dan mengatakan, 'tak ada apa - apa, aku hanya pergi ke kamar mandi.' Aku pernah mengalami yang seperti itu. Dia berbohong, dia menemui seseorang entah apa maksudnya. Bisa saja kau sungkan atau tidak mau mengatakannya karena hal itu pribadi. Percayalah padaku, pada kasus seperti ini kejujuran merupakan hal penting. Kau bisa saja celaka karena tak jujur dengan pengawalmu. Jika kau celaka, hancur sudah reputasiku sebagai seorang detektif."

Seperti biasa, Jakarta sangat macet. Orang - orang bodoh ini juga tidak berhenti membunyikan klakson. Bisakah kalian sabar sedikit saja? Membunyikan klakson juga tidak akan mengubah situasi. Tapi wajar saja, ini adalah ibukota. Semua orang berkumpul di tempat ini untuk mengadu nasib mereka. Saat aku fokus mencari celah agar bisa lewat, Ashel kembali bertanya.

"Lalu, bagaimana caranya kau menemukan siapa yang menjadi pelakunya?" pertanyaannya membuyarkan fokusku.

"Biasanya, aku akan mencari semua orang yang berhubungan denganmu. Dilihat dari semua fotomu, aku juga menemukan beberapa fotomu yang sedang berada di kantin sekolah. Aku asumsikan, dia salah satu murid di sekolah kita. Kita baru saja memasuki tahun pertama, meskipun bisa saja itu dari kakak kelas, tapi jika dilihat dari kejadian di kantin yang tiap angkatan yang memisahkan diri satu sama lain, kemungkinan dia juga satu angkatan dengan kita. Hanya itu dulu yang bisa aku sampaikan dan aku temukan, sisanya akan kuselidiki lebih lanjut."

Ia tak merespon, tapi kulihat, eskpresinya menunjukkan kita dia mengatakan 'jadi begitu.' dengan sedikit mengangguk. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Langit Jakarta tak cukup indah untuk dipandang karena polusi cahaya yang begitu parah. Tidak ada bintang yang bersinar malam ini, sama seperti malam - malam sebelumnya. Kulihat, Ashel juga sudah mulai mengantuk. Beberapa kali dia menguap, dan merebahkan badannya dengan santai di kursi depan.

"Masih lama, kau tidur saja." kataku.

"Bagaimana bisa? Ini minggu, tapi hari ini seramai hari senin." dia ketus. "Seandainya aku bisa segera menyetuh tempat tidur, pasti menyenangkan. Dengan bau lilin eucalyptus, dan tidur dengan santai." ia mengatakan sembari menguap.

One Shot CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang