Dia membukakan pintu depan mobil, baik sekali. Singkatnya, kami mulai berjalan dari rumahnya menuju ke rumahku. Hari ini Minggu, tapi semua orang sudah memenuhi jalan. Mungkin karena faktor waktu, ini sore hari. Semua orang sedang dalam perjalanan pulang. Sejenak aku tak ingat kenapa aku bisa berada di mobil ini karena suasananya yang membuatku bosan. Saat kulihat Enrico, dia sedang melamun. Adiwijaya itu pasti adalah seorang yang bodoh karena membiarkan anak berusia enam belas tahun untuk mengendarai mobil.
"Hey, jangan melamun, kau sedang mengemudi!" aku menepuk kecil pundaknya.
"Omong - omong, bagaimana dengan regulasinya? Maksudku, tentang bagaimana kita menghadapi situasi ini?" tanyaku
"Pertama, kau tak boleh menghilang dari jangkauanku, kau harus selalu bisa kulihat. Kedua, tak boleh ada rahasia, kau harus sepenuhnya jujur padaku agar aku-"
"Tunggu sebentar." ia menyela. "Apa maksudmu harus sepenuhnya jujur?" aku sedikit tak heran dengan jawabannya.
"Aku pernah mengatasi kasus seperti ini sebelumnya. Maksudku adalah jika kau tidak jujur, bisa saja kau menghilang sebentar dari pengawasanku, lalu kembali padaku dan mengatakan, 'tak ada apa - apa, aku hanya pergi ke kamar mandi.' Aku pernah mengalami yang seperti itu. Dia berbohong, dia menemui seseorang entah apa maksudnya. Bisa saja kau sungkan atau tidak mau mengatakannya karena hal itu pribadi. Percayalah padaku, pada kasus seperti ini kejujuran merupakan hal penting. Kau bisa saja celaka karena tak jujur dengan pengawalmu. Jika kau celaka, hancur sudah reputasiku sebagai seorang detektif."
Aku mulai paham dengan apa yang dia maksud. Aku semakin tertarik dengan orang ini. Aku akan mengajukan berbagai pertanyaan lagi untuk memuaskan rasa penasaranku.
"Lalu..."
"Apa?"
"Bagaimana caramu menemukan pelakunya?"
"Biasanya, aku akan mencari semua orang yang berhubungan denganmu. Dilihat dari semua fotomu, aku juga menemukan beberapa fotomu yang sedang berada di kantin sekolah. Aku asumsikan, dia salah satu murid di sekolah kita. Kita baru saja memasuki tahun pertama, meskipun bisa saja itu dari kakak kelas, tapi jika dilihat dari kejadian di kantin yang tiap angkatan yang memisahkan diri satu sama lain, kemungkinan dia juga satu angkatan dengan kita. Hanya itu dulu yang bisa aku sampaikan dan aku temukan, sisanya akan kuselidiki lebih lanjut."
Aku hanya meresponnya dengan anggukan, aku hanya ingin mendengar penjelasannya lagi. Terlalu panjang dan terlalu teknis, aku tak begitu paham sebenarnya. Tapi aku ikuti saja alurnya, dia lebih tau masalah ini daripada aku sendiri.
Kemacetan ini membuatku ngantuk. Aku sudah beberapa kali menguap, dan dengan sengaja kuturunkan sandaran kursinya agar aku bisa merebahkan diriku. Setidaknya akan lebih nyaman begini dibandingkan dengan duduk biasa.
"Masih lama, kau tidur saja." kataku.
"Bagaimana bisa? Ini minggu, tapi hari ini seramai hari senin." dia ketus. "Seandainya aku bisa segera menyetuh tempat tidur, pasti menyenangkan. Dengan bau lilin eucalyptus, dan tidur dengan santai."
Tak banyak bicara, aku akhirnya tidur. Pukul tujuh malam, akhirnya sampai ke rumahku. Ia menemaniku saat masuk ke dalam rumah. Tapi ada hal yang membuatku jengkel, pintunya tak mau terbuka. Kuncinya sudah benar, sudah kupastikan, ini bukan kunci rumah Enrico. Bagaimana bisa kunci yang kuberi gantungan kunci kesayanganku ini tak bisa membuka pintu rumahku sendiri? Enrico yang menyadari itu, langsung menghampiriku.
"Ashel."
"Ya?"
"Ah, kau membuka sendiri pintunya. Jika orang tuamu di rumah, pasti mereka akan meninggalkan pintunya terbuka sembari menunggumu. Kemana orang tuamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot Collection
Fiksi PenggemarCuma oneshot gabut doang. Kalo ada kaya inspirasi, langsung dituangin kesini. Entah Fanfiction, atau sekedar cerita yang sekelebat lewat di otak. Enjoy!