Foto seperti ini lagi? Benar-benar tak ada habisnya! Jika saja aku tahu siapa pelakunya. Tapi ini sungguh mengerikan, menerima foto dari seseorang yang bahkan kau tidak tau siapa. Aku akan sangat senang jika aku memiliki seorang pengagum rahasia. Tidak, jangan bodoh, perlakuannya yang mengerikan seperti ini seharusnya tidak membuatku senang. Meskipun dia adalah seorang pengagum rahasia sekalipun. Sepertinya memang aku harus menghubungi orang itu, tak mungkin aku melapokannya pada polisi. Hal remeh seperti ini, memangnya mereka mau mengatasinya? Banyak kasus yang lebih rumit dan menjengkelkan dibanding kasus remeh seperti ini, toh mereka pasti juga hanya mencatat laporanku tanpa ada pengerjaan. Kasus seperti ini memang ranah orang itu. Kudengar, dia sedikit menjengkelkan. Tapi selama aku bersamanya, tidak, bukan bersama seperti itu, aku tak pernah merasa jika dia menjengkelkan. Yang kuingat, aku hanya dia hanya bertemu secara kebetulan, berbicara sedikit, lalu berpisah.
Aku mempersiapkan tas kecilku, dan kuisi dengan beberapa barang penting seperti kunci rumah, ponsel, dan dompet. Tak perlu membawa banyak barang, karena sepertinya ini hanya berlangsung sebentar, paling lambat juga besok, aku bisa pulang setelahnya. Kukenakan kemeja putih berlengan panjang dengan rompi berwarna biru tua, dan rok berwarna abu-abu, lengkap dengan sepatu kets kesayanganku. Kutemui ayah dan ibuku yang juga sedang bersiap untuk pergi.
"Sudah siap semuanya, yah?" tanyaku.
"Sudah. Kami berdua akan pergi sekitar dua minggu lamanya. Apakah tidak apa-apa meninggalkanmu sendirian di sini?"
"Tenang saja, anakmu ini sudah besar. Tak perlu khawatir. Lagipula, aku bisa menginap di rumah temanku. Aku akan pulang sesekali untuk membersihkan rumah. Kalian bisa pergi tanpa harus mengkhawatirkanku." ucapku sambil tersenyum.
Raut wajah ayahku yang mulanya tak yakin, sekarang sudah berubah. Ia mulai menatapku lega. Tapi berbeda dengan ibuku, ia seperti tak ingin meninggalkanku sendiri.
"Ibu bisa menelepon jika mau. Kalau perlu, lakukan itu setiap hari. Agar kalian bisa memastikan keadaanku." aku meyakinkannya.
Tetap saja, mungkin memang naluri seorang ibu yang berbeda. Aku juga tak tahu mengapa, tapi ketika ibu sudah seperti ini, biasanya akan terjadi hal di luar dugaan. Biasanya, jika ia mengatakan sesuatu, tapi aku tidak menurutinya, itu akan menjadi kesialan bagiku. Meski begitu, sepertinya aku berhasil meyakinkan kedua orang tuaku agar bisa melakukan pekerjaan mereka dengan tenang. Terlihat dari raut wajah mereka yang berubah menjadi lebih meyakinkan.
"Kalau begitu, kami akan selalu mengabari. Kau harus selalu mengangkat telepon dariku. Tidak boleh sekalipun kau tidak mengangkatnya. Ashel, kau akan mendapat masalah serius jika tak mengangkatnya. Ini perintah dari ibumu." tegas ibuku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku memang tak tahu dan tidak tahu menahu tentang masalah mereka, tapi aku juga tidak bercerita tentang masalah yang kualami. Kami sudah pada porsi kami masing-masing. Ayah dan ibu bekerja sebagaimana mestinya, dan aku berusaha untuk menjadi anak yang tak merepotkan. Mereka juga memiliki beban mereka sendiri agar tak membuatku khawatir.
"Semua persiapan kami sudah siap. Kami akan pergi juga disaat kau kunjungan wisata. Oh ya untuk kuncinya-"
"Aku sudah punya kuncinya, santai saja." potongku. "Oh ya, kemungkinan aku akan menginap di rumah temanku, jadi-"
"Oh? Tak apa jika itu di rumah Marsha. Lagipula kalian sudah berteman lama. Tak perlu membawa banyak barang dan pakaian, kau meninggalkan banyak barang di sana." potong ayahku.
Yah, biarlah, sesekali aku jual nama temanku pada orang tuaku. Aku juga tahu jika mereka tak akan mengecek dengan cara menelepon Marsha. Aku juga belum menjelaskan hal ini pada Marsha. Biarlah, akan kujelaskan sampai masalah ini selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot Collection
FanfictionCuma oneshot gabut doang. Kalo ada kaya inspirasi, langsung dituangin kesini. Entah Fanfiction, atau sekedar cerita yang sekelebat lewat di otak. Enjoy!