3. "Mimpi milik Marsha."

11 1 0
                                    

Marsha kembali ke rumah setelah sekiranya selesai semua urusan di luar, bahkan di kampusnya.

"Kau tidak ada masalah, kan?" tanya Yaya yang masih duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Tentu saja! Kenapa?" Marsha tampak heran, Marsha mencoba melepaskan sepatunya dan menaruh tas di dekat pintu.

"Kau tampak pucat," Yaya menggeleng.

"Benarkah? Ah, mungkin karena aku banyak pikiran. Tidak ada apa-apa, kau sudah makan?" tanya Marsha mengalihkan pembicaraan.

"Tentu saja. Aku banyak makan di kampus tadi. Kau juga sudah makan, kan?" tanya Yaya.

Marsha hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia duduk di samping Yaya sambil menyandarkan badannya di sofa. Marsha sejujurnya masih sangat ingin mengetahui tentang niat Nevan. Bagaimana bisa sosok pria yang sangat tampan bahkan bisa di jadikan idaman memilih untuk mencintainya.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kau masih memikirkan pria yang kemarin?" tanya Yaya yang tiba-tiba membuat lamunan Marsha menjadi buyar.

"Tidak juga," Marsha hanya memejamkan matanya. "Aku bertemu dengannya tadi di kampus. Secara kebetulan.."

"Keren! Bagaimana? Kau percaya dengan Takdir itu?" Yaya terkekeh.

"Tidak juga. Aku tidak ingin mempercayai apapun sekarang. Lagian kami berbeda agama," Marsha menghela nafasnya.

"Kalau sama agama? Apakah kau yakin tidak ingin bersamanya? Lagipula dia sangat tampan seperti idol K-Pop, kan? Apakah dia setampan Jaehyun NCT?" Pertanyaan Yaya membuat Marsha ingin menerjangnya.

"Dia mirip Taehyung BTS!"

"Pleaseeeeeeee! Jangan samakan Taehyung dengan siapapun! Aku tidak akan rela," Yaya menggeleng.

"Dia tidak mirip siapapun Ya. Dia mirip dirinya sendiri, tapi yang perlu kau ketahui. Dia seperti keturunan Korea yang bagi orang Indonesia, sudah cukup tampan!" ujar Marsha.

"Tidak semua, hanya beberapa orang Indonesia yang berpendapat seperti itu. Lagipula apa salahnya jika mencoba, jika dia serius, bukankah dia akan masuk agama Islam?" Yaya menutup mulutnya tak percaya.

"Dia berkata akan masuk Islam," Marsha menunduk sambil membereskan buku-bukunya di dalam tas. Sebelumnya tas tadi sudah di tarik oleh Marsha agar tidak menghadang jalan.

"Bukankah dia cukup berambisi? Keren! Lalu?"

"Lalu?"

"Ya selanjutnya memang bagaimana? Saya bertanya kelanjutannya," ujar Yaya.

"Sewajarnya masuk Islam itu dari hati dan niatnya, bukan dari seorang manusia. Jika begitu, bukankah jika hubungannya selesai, dia juga akan selesai dengan Tuhannya? Bukankah tidak boleh seperti itu?" Marsha menjelaskan lebih detail. Yaya hanya mengangguk paham sembari mengambil gelas yang ada di atas meja, ia meneguk secara perlahan.

"Kau benar! Tidak hanya masalah pindah agama sih, tapi masalah lainnya juga harus di jalani melalui niat dan hati. Jika buruk akan buruk dan jika baik akan baik," Yaya mengangguk sembari menaruh kembali gelas yang ia pegang. Ia sudah mengecap rasa teh hangat yang sudah tidak terlalu hangat.

"Entahlah. Jangan di ambil pusing, saya yakin kami tidak akan pernah berjodoh!" Marsha meyakinkan diri sambil terkekeh.

"Siapa namanya?" tanya Yaya tiba-tiba.

"Kenapa? Kenapa kau bertanya namanya?" tanya Marsha.

"Hanya bertanya saja, jika saja ternyata dia adalah teman saya. Wah, bisa jadi kau benar-benar berjodoh," Yaya terkekeh.

AN UNFAMILIAR DAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang