"Sejak kapan?"
Perempuan yang melontarkan pertanyaan itu tidak menunjukkan ekspresi apapun kepada lawan bicaranya. Manik matanya hanya menatap lurus pada dua orang muda-mudi yang duduk gelisah di hadapannya.
Tangannya yang mulai berkeringat dingin terus saja memegang erat kertas hasil tes kehamilan yang tengah ia pegang. Namun sayangnya, kertas itu bukanlah miliknya sendiri.
"Ini bukan salah Mas Catur, Nea! Jangan salahkan dia aku mohon. I-ini namanya cinta."
Nea. Wanita yang usianya bahkan belum genap sepertiga abad itu kembali meminum kopinya yang mulai dingin dengan hati-hati. Gerakannya begitu lembut dan menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita dewasa yang tak perlu menabuh genderang perang hanya untuk meladeni perempuan di hadapannya ini.
Melihat Nea yang tak kunjung juga memberikan respon, maka Raina dengan begitu saja berlutut di hadapan Nea. Ia bahkan sampai repot-repot menyentuh lutut Nea untuk menunjukkan betapa dirinya telah menyesal.
"RAINA! BANGUN!"
Catur yang melihat perempuan itu berlutut di hadapan Nea tentu saja tak terima. Ia menatap nyalang ke arah Nea yang masih saja diam dengan wajah dinginnya.
"Hiks ... aku minta maaf, Nea. A- hikss aku ... tahu ini salah. Tapi cinta kami ini tulus. Kami sudah ditakdirkan bersama."
"Jangan menangis, Raina. Pikirkan kandungan kamu. Ayo bangun!"
Benar juga. Nea hampir saja lupa dengan kehadiran pria itu. Catur. Calon suami- ah bukan. Melainkan suaminya. Catur adalah suami Nea. Pasangan hidupnya.
Karena mereka berdua sudah melaksanakan akad pagi tadi. Dan rencananya, resepsi akan digelar nanti malam.
Namun rencana tinggallah rencana. Sebuah kabar hina tiba di saat Nea sedang dalam perjalanan kembali dari salon tempat ia berias diri. Nea sengaja tak memanggil perias tersebut ke rumah karena ingin bebas sejenak dari tekanan keluarga.
"Tidak bisakah kamu menjawab, Nea? Apa kamu bisu, hah?! Bagaimana bisa kamu mengabaikan sahabatmu seperti ini?! Dasar tidak punya hati!"
Benar. Nea mengakui hal itu. Mungkin dirinya memang benar-benar tidak memiliki hati. Sebab perasaan pertama yang ia temukan di saat Catur mengatakan bahwa ia telah menghamili Raina bukanlah kesedihan.
Nea, yang telah dihianati oleh sahabat dan suaminya sendiri tidak merasakan apa itu patah hati. Ia tidak marah. Juga tidak terluka.
Di dalam hatinya ... hanya ada kehampaan. Semuanya kosong.
Janji Catur yang mengatakan akan menghormatinya sebagai seorang istri dan memperlakukannya sebaik mungkin nyatanya hanya bualan manis belaka.
Semua itu palsu. Pura-pura. Sandiwara memuakkan bagi Nea.
"Bangunlah kalian berdua. Meskipun tidak ada orang di sini, tapi jangan membuat keributan karena itu akan sangat merepotkan."
Satu-satunya alasan mengapa kafe ini nampak begitu sepi adalah karena Catur sengaja menyewanya guna membicarakan permasalahan ini.
Dia tidak ingin aibnya diketahui orang lain.
Raina yang masih saja terus menangis menatap penuh harap pada Nea. Dia dibantu Catur kembali duduk di atas kursi, berseberangan langsung dengan Nea. Perempuan itu akan lebih menyukai jika Nea menampar atau menjambaknya. Karena dengan begitu, perasaannya akan menjadi lega.
Perasaan superior. Dimana ia akan menjadi seorang pemenang.
Raina Larasati, si juara dua, untuk pertama kalinya akan mengungguli Nea Nevada Diratama. Gadis itu benar-benar menyukai pemikiran bahwa Nea akan menangis memohon di bawah kaki Catur untuk tidak mencampakkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Para Angsa
Short StoryKumpulan cerpen dan cerbung. Jangan dibaca kalau takut ... baper. Kisah Para Angsa ini hanyalah sekumpulan cerita pendek atau cerita bersambung. One shoot istilahnya sekarang. Ada romansa remaja, dewasa, misteri, dsb. Seringkali ada ide cerita tapi...