Salah Target [Epilog]

82 25 15
                                    

"Aku mau nembak Damar. Sekarang."

Itu yang Lyra katakan. Dengan penuh semangat dia menyuarakan rencana yang akan dilakukannya.

Aku pikir, melihatnya dari jauh sudah cukup bagiku. Sama seperti yang kulakukan selama ini.

Aku hanya menatapnya di saat dia sibuk menatap Damar. Aku seringkali mencuri pandang kepadanya, di saat dia mencuri kesempatan untuk mendekati Damar.

Tetapi mendengar Lyra mengatakan pada sahabatnya bahwa dia ingin menyatakan perasaan pada Damar, mendadak dadaku merasakan nyeri yang misterius.

Aku cemburu. Baru kusadari hal itu ketika dengan bersusah payah Lyra memohon pada temannya untuk membantu membawa Damar ke belakang sekolah.

"Yaaa Rossss. Pleaseeeeeee. Nanti sepulang sekolah Damar kan bakal latihan. Nah! Sebelum latihan dia biasanya duduk di depan kelas, nunggu sekolah sepi. Suruh dia buat dateng ke belakang laboratorium. Aku traktir kamu jajan boba deh."

Kelasku berada tepat di samping kelas Lyra. Tidak akan aneh rasanya jika aku bersandar pada tembok kelasku dan tanpa sengaja mendengarkan perbincangan mereka.

Mungkin mereka berpikir di sekolah sedang tidak ada siapapun karena masih sangat pagi.

Tapi mereka salah. Karena aku ada di sini. Berada pada tempat dimana Lyra berada.

"Iyaaaa! Iyaaaaa! Aku bantuin. Sekarang diem dulu. Aku mau push rank!"

"Ahhhhh! Saranghaeeee Rosaaa!"

"Wueeekkk!"

Lyra ... sebahagia itu?

Aku selalu bahagia setiap kali melihat Lyra tertawa, bercanda dan bersenang-senang bersama temannya. Aku senang sekali ketika melihat gadisku itu tertawa riang setelah dia memenangkan undian jalan sehat dalam rangka peringatan 17 Agustusan.

Dia mendapatkan hadiah vas kristal. Dia pikir itu hanya kaca biasa. Tapi aku tahu, jika vas itu benar-benar kristal. Karena aku yang membuat dia menenangkannya.

Lyra-ku yang manis, menyukai benda berkilau. Sesuatu yang sama percis dengan matanya kupikir. Karena netra Lyra juga sama berkilaunya dengan semua benda itu. Bahkan lebih.

Tapi kenapa ... aku merasa sangat sulit untuk bernafas sekarang? Padahal di seberang sana, Lyra sedang bahagia.

Lalu kenapa aku tidak bahagia?

_ _ _ _ _

Saat ini, mungkin sahabat Lyra sudah berjalan menuju kelas Damar yang ada di lantai dua. Atau bahkan mungkin, si naif Damar itu sudah berjalan menuju tempat Lyra.

Rasanya sangat mengganggu. Aku tidak tenang.

Membayangkan senyum indah Lyra akan sepenuhnya menjadi milik anak lemah itu, aku merasa bahwa semua ini tidak adil.

Damar tidak berhak atas Lyra. Tidak dengan hatinya yang mudah goyah itu. Si brengsek itu terlalu baik kepada siapapun. Dan dengan kebaikannya itu, aku yakin suatu saat gadis yang aku cintai pasti akan terluka dibuatnya.

Dan aku tidak suka. Membayangkan Lyra terluka karena sikap Damar yang plin plan, aku berpikir bahwa mereka memang seharusnya tidak boleh bersama.

Satu-satunya orang yang bisa membahagiakan dan mencintai Lyra sepenuh hati adalah aku. Jika Lyra benar-benar ada di dalam hidupku, maka keberadaan orang lain tidak akan penting lagi. Selama ini pemahamanku akan cinta adalah Lyra.

Dia adalah satu-satunya orang yang akan menerima cinta dariku. Hanya dia. Dan akan selalu dia.

"Ada yang mencarimu di ruang guru."

Kisah Para AngsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang