Seumur hidup Nea tidak pernah berusaha untuk membalas dendam. Ketika keluarganya sibuk menjatuhkan atau berusaha menjegal usahanya, Nea lebih suka memilih diam. Menahan semuanya sendiri dan membiarkan kepahitan itu melumat hidupnya secara perlahan.
Satu-satunya waktu yang ia tunggu adalah pembebasan. Hadiah dari kakeknya yang mengatakan Nea boleh pergi setelah ia menikah dengan keluarga terpandang. Dalam artian, calon suami Nea haruslah memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis. Karena dengan begitu, usaha yang dijalankan oleh kakek Nea juga akan semakin bertambah besar.
Dan saat itulah ia bertemu dengan Catur. Putra sulung pemilik usaha tambang batu bara dan bisnis tekstil. Pria ramah yang selalu menyanjung kata cinta kepada Nea.
Di awal perjodohan mereka, Catur jatuh cinta kepada Nea. Sikapnya yang anggun, wajahnya yang rupawan, Catur menyukai segalanya. Nea sendiri sudah mengatakan segalanya kepada Catur di saat pemuda itu melamarnya.
Nea tak bisa memberikan janji akan mencintai Catur, tapi ia bersumpah akan selalu setia dan menghormati Catur sebagai seorang suami. Dan begitulah kisah mereka dimulai.
Tapi sayang, semua itu hanya masa lalu. Karena nyatanya, Catur pergi.
"Jadi ... Kamu sekarang janda?" tanpa basa basi lagi, Quinn, salah satu teman SMA Nea bertanya langsung pada intinya.
"Belum resmi. Tapi segera." jawab Nea tenang.
Mereka berdua duduk santai dan mengobrol layaknya teman lama di dalam apartemen Quinn.
"Wahhh ... selamat, ya. Gokil sih kamu! Fast banget prosesnya. Aku saja belum sempat mencicipi makanan di resepsimu. Eh, kamunya sudah janda saja. Ini, nanti malam, aku tetap bawa amplop atau tidak?"
"Jangan keras-keras. Ten bisa mendengar."
Nea menatap datar ke arah kamar tempat adiknya beristirahat. Bocah laki-laki berusia 13 tahun itu tidak mengatakan apapun di saat kakak perempuannya mengajak dia pergi dari rumah secara terburu-buru. Dia hanya menatap Nea dengan bola mata indahnya sambil mengatakan, 'Ten akan selalu ada di samping Kakak.'
Benar-benar sangat dewasa.
"Sayang sekali, padahal undangan kalian keren abis. Apalagi gelar namamu yang sudah seperti kereta api. Panjanggggggg banget."
Di usianya yang baru menginjak 21 tahun, Nea memang sudah menyelesaikan kuliahnya di jurusan psikologi dan bisnis manajemen. Ia melanjutkan pendidikan S2 di Harvard University dan mendapatkan gelar MBA tepat dalam waktu 24 bulan.
Lulus dari tempat itu, Nea kembali pulang dan melanjutkan pendidikan dengan kuliah di jurusan hukum sekaligus sosiologi. Kelas malam dan pagi ia ambil seluruhnya demi target mendapatkan gelar S.H. Sesuai perintah sang kakek.
Tapi Nea yang mencintai kehidupan tentu tidak mau kehilangan apapun. Karena itu dia juga tetap meraih keinginannya dengan kuliah di jurusan psikologi serta sosiologi yang begitu menarik minatnya.
Tidak ada kata istirahat dalam hidup gadis itu. Jatuh sakit, tapi harus tetap berdiri. Mimisan di pertengahan malam juga bukan hal aneh lagi bagi Nea.
Dia sudah seperti mesin berjalan.
"Jadi bagaimana? Kamu bisa menolongku?"
"Hmm." Quinn nampak berpikir keras. Ia seperti sedang memperhitungkan sesuatu.
"Bagaimana? Aku pastikan akan mengembalikan semuanya, Quinn. Beserta bunganya."
"Apaan sih, kamu! Aku bukan rentenir." beranjak dari tempat duduknya, Quinn berjalan untuk mengambil sebuah kartu nama di dalam buku kartunya. Ia kembali pada Nea dan menyerahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Para Angsa
Short StoryKumpulan cerpen dan cerbung. Jangan dibaca kalau takut ... baper. Kisah Para Angsa ini hanyalah sekumpulan cerita pendek atau cerita bersambung. One shoot istilahnya sekarang. Ada romansa remaja, dewasa, misteri, dsb. Seringkali ada ide cerita tapi...