Nungki berjalan santai sambil melihat lihat para pedagang yang menjajakan lapaknya. Ia masih mengenakan masker karena terbiasa dengan polusi kota.
Memutuskan berjalan jalan sebentar setelah turun di stasiun kereta Solo.
Ia tidak menelepon orang rumah bahwa ia akan pulang. Sambil mengulur ulur waktu untuk menjelaskan kepada keluarga besarnya perihal masa depannya.Tiga minggu sejak kejadian itu, akhirnya Nungki mengambil cuti selama 3 bulan, ia sudah konsultasi dengan rekan dokter dan juga terapisnya. Mungkin cukup untuknya merelaksasikan pikirannya. Dan juga mempersiapkan diri menghadap kedua orang tua serta kakak kakaknya.
Nungki berjalan mendekati penjual sayur. Melihat daun bayam dan jagung. Alangkah nikmatnya jika di sayur dan dibuat bakwan. Mungkin moodnya bisa membaik jika perutnya kenyang. Membayangkan itu membuatnya tersenyum.
"Bayamnya pinten, bu lik?" Tawarnya.
*berapa
*Sebutan kepada ibu2 biar sopan"murah mbak, seiket dua ribu mawon."
*saja
"Oo enggih, sekalian jagungnya, terong, sama tomat."
Penjual itu pun dengan cepat membungkus pesanan Nungki.
"Matur nuwun, mbak"
*Terima kasih
"Sami - sami, monggo bu Lik."
*Sama-sama
*MariNungki melanjutkan jalannya menuju penjual buah yang ada di seberang jalan, saat ia tak sadar ada motor lewat. Suara decitan rem dan ban membuatnya panik dan menjatuhkan belanjaanya. Seketika ia dan pengendara mobil itu dikerumuni warga.
"Mbak, mboten nopo - nopo?"
*Tidak apa - apa?
Seseorang menanyainya, tapi ia belum bisa menjawab karena terlalu kaget.
Nungki melihat ke arah pengendara itu, mencoba bangkit setelah tertimpa motor, karena berusaha tidak menabraknya.
Suara suara warga berkerumun semakin ramai, ada yang berusaha membantu pengendara itu.
Kemudian pengendara itu melihat ke arah Nungki, dan melepas helm nya. Rambut ikal sebahu menghiasi wajah rupawan itu.
"Mbak e ada yang luka?" Tanyanya sambil memegang bahu kecil Nungki.
Nungki yang terkesima hanya bisa menggeleng.
"Mas, motornya di minggirin dulu ya." Beberapa warga menuntun motor itu.
Pria itu menoleh ke arah motornya, lalu mengucapkan terima kasih. Ia kembali menatap Nungki.
Kali ini Nungki mulai risih, karena pria itu berlama lama memegang bahunya.
Ia melepaskan diri.
"Saya tidak apa apa. Maaf." Nungki berbalik lalu melangkah pergi. Moodnya kembali memburuk. Baru saja sampai di kota kelahirannya, sudah ada peristiwa yang tidak mengenakkan.
Nungki yang kembali overthingking, memutuskan naik angkot dan langsung menuju rumahnya.
**************************************
Setelah turun dari angkot, Nungki memilih berjalan kaki dari pada naik becak. Terapisnya mengatakan kalau berjalan jalan akan meredakan moodnya. Suasana desa yang sejuk karena dekat dengan perbukitan, menyapa Nungki.
Nungki menghirup udara segar itu, yang lama tidak ia rasakan ketika di kota besar. Yang tentu saja banyak polusi. Ia tidak perlu memasang masker lagi. Nungki melepasnya dan menaruhnya ke dalam tasnya. Seketika ia sadar, belanjaannya tertinggal di pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung di batas Senja
ChickLitNungki Maharani, 30, dokter muda yang baru saja menyelesaikan spesialisasi kesehatan anak, harus merasakan pahitnya pernikahan ketika tanpa sengaja ia melihat suaminya main hati didepan kedua matanya. Pilihannya bertahan atau berpisah. Gilang Cahar...